Manado – Salah satu golongan yang sering mendapat perlakukan diskriminatif di beberapa daerah Indonesia adalah Jemaah Islam Ahmadiyah. Namun tidak demikian halnya dengan di Manado. Suasana penuh penuh kekeluargaan bisa terjalin antar golongan agama.
Letaknya di Kelurahaan Taas, Kecamatan Tikala, Kota Manado. Masjid Baitul Islam. Ini satu-satunya masjid milik Jemaah Ahmadiyah Manado. “Ini tempat berkumpul dan beribadah jemaah Ahmadiyah di Manado,” ujar Syamsul Ulum, mubaligh Jemaah Ahmadiyah Manado, Selasa, 14 Mei 2019 sore.
Sore itu ada diskusi dan buka puasa bersama dengan puluhan mahasiswa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado. Sejumlah pertanyaan dan klarifikasi mengalir dalam diskusi itu. Dengan tekun, Syamsul menjawab satu per satu pertanyaan kritis yang disampaikan para mahasiswa. “Ini kitab suci kami Alquran, bukan kitab yang lain. Kami juga menunaikan ibadah haji ke Mekah, bukan ke London,” ujar Syamsul menjawab beberapa pertanyaan mahasiswa.
Diskusi yang berjalan menarik itu harus diakhiri. Waktu berbuka puasa tiba. Berbagai penganan khas buka puasa disediakan. Puluhan mahasiswa bersama jemaah Ahmadiyah berbaur menikmati takjil yang tersedia. “Nanti setelah kami salat, baru kita makan malam,” ujar Syamsul kepada sejumlah wartawan.
Setelah salat, hidangan makan malam pun telah tersedia. Sambil melanjutkan diskusi ringan, peserta diskusi dan jemaah setempat menikmati makan malam.
Masjid Baitul Islam yang berada satu pekarangan dengan rumah misi Jemaah Ahmadiyah Manado. Pembangunan Masjid Baitul Islam ini terkait erat dengan sejarah masuknya Ahmadiyah di Manado.
Sejumlah tokoh yang berperan dalam perkembangan Jemaah Ahmadiyah di Manado antara lain Jusuf Pontoh dan Abdul Hajat Djafar. Nama terakhir ini adalah seorang pengusaha asal Makasar, dan kini berdomisili di Manado. Menurut Jusuf, Abdul Hajat Djafar sudah masuk Ahmadiyah sejak masih di Makasar. Mereka kemudian membangun Jemaat Ahmadiyah di Manado di sekitar tahun 1970-an.
Selain Jusuf dan Abdul Hajat Djafar, salah satu tokoh Jemaat Amhadiyah di Manado adalah Sugeng Musdi. Dia adalah Ketua Organsiasi Ahmadiyah Cabang Manado. “Saya dulu bekerja untuk Pak Hayat (Abdul Hajat Djafar), mengantar bahan-bahan bangunan. Termasuk untuk masjid Ahmadiyah yang ada di Taas ini,” ujar Sugeng.
Sugeng mengaku baiat atau menjadi penganut Ahmadiyah pada tahun 1992. “Sejak itu saya aktif di Jemaah Ahmadiyah,” ujar Sugeng yang berasal dari Jawa ini.
Sugeng mengatakan, Masjid Baitul-Islam milik Jemaah Ahmadiyah Manado itu dibangun tahun 1986. “Waktu itu cuma pondasi, dan kerangka besi. Oleh swadaya jemaah akhirnya jadilah bangunan masjid seperti yang sekarang ini,” tutur Sugeng.
Kini masjid bercat kuning ini yang berada satu kompleks dengan rumah misi menjadi pusat keagamaan Jemaah Ahmadiyah Manado. “Beberapa waktu lalu ada delapan puluh mahasiswa Advent dari Universitas Klabat yang datang berkunjung ke sini. Kami juga berdiskusi bersama,” ujar Ahmad, salah satu anggota Jemaah Ahmadiyah.
Agenda buka diskusi dan buka puasa bersama Jemaah Ahmadiyah Manado dengan komnitas lintas agama sudah berjalan beberapa tahun terakhir. “Ini sudah semacam tradisi yang terus dilakukan. Untuk membangun dialog dan toleransi antar umat beragama,” ujar Taufani, salah satu akademisi yang konsern di bidang sosiologi agama.(joe)