Kaunang Berikan Tinjauan Sejarah Dalam Buku Perang Tondano

Tondano, DetikManado.com – Ivan Kaunang pakar sejarah Unsrat Manado mengatakan, buku Perang Tondano karya Johan F Mambu (alm) yang diprakarsai Irjen Pol Carlo B Tewu memiliki keinginan yang cukup luas. Beberapa judul tertentu buku Perang Tondano diberikan kepada para pembicara dan pembahas bedah buku.

“Dengan demikian, saya hanya fokus pada dua hal. Pertama, sedikit membahas tentang buku ini. Yang kedua bicara tentang kedudukan Tondano dalam sejarah Indonesia,” ungkap Kaunang dalam kegiatan Bedah Buku Perang Tondano yang digelar Perkumpulan Alumni SMANTO 170.1, Senin (30/12/2019) di Ruang Rapat Kantor Bupati Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut).

Bacaan Lainnya

Kaunang menerangkan buku Perang Tondano adalah penanda zaman, artinya perlu dikomentari, diulas dan diberikan tanggapan sehingga menjadi hidup. “Dan sebagai penanda zaman mau ditujukan buku ini ada pada satu masa tertentu. Karena buku ini maka bagian dari makalah seminar di Jakarta bulan November tahun 1986,” katanya.

Kaunang mengatakan, ketika berbicara tentang Perang Tondano, banyak masyarakat Indonesia dan masyarakat Sulut, khususnya orang Minahasa yang belum sepenuhnya mengetahui peristiwa bersejarah ini. “Dari sini sudah bisa terlihat bagaimana kedudukan Perang Tondano sebagai sebuah kisah dan bisa dibuat dalam sejarah Indonesia. Ada begitu banyak orang tidak tahu. Yang hadir di sini sebagian besar tahu atau mungkin tidak mau tahu,” ungkap pria yang juga mengajar sebagai dosen Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unsrat Manado ini.

Buku yang dibedah berjudul Perang Tondano: Kisah Perlawanan Orang-Orang Minahasa Terhadap Kekuasaan Penjajah Di Permulaan Abad XIX. Kaunang menuturkan, periode abad ke 19, perlawanan rakyat di Indonesia cukup banyak, bukan hanya Perang Tondano. “Tetapi kalau kita lihat angka tahun, maka perang Tondano memiliki signifikan. Atau boleh kita sebut sebagai perang pertama yang cukup besar melawan colonial,” imbuhnya sambil mempertanyakan mengapa masa Orba, Perang Tondano tidak masuk dalam pelajaran sejarah.

Kaunang mengatakan terdapat 10 bab dalam buku Perang Tondano. Ada 4 bab yang disebut pengantar, walaupun tulisan Bodewyn OG Talumewo berjudul Puncak Kebencian Rakyat Minahasa Terhadap Belanda, menurut Kaunang telah berbicara analisis Perang Tondano. “Beberapa buku dikutipnya untuk menceritakan atau memberi tekanan bahwa Perang Tondano sudah pernah ditulis,” katanya.

Dan kemudian akhir buku ini, ada 3 tulisan sebagai epilog atau penutup. Kaunang tidak mengetahui secara persis alasan tulisan-tulisan tersebut ditempatkan di bagian belakang buku. Tulisan-tulisan itu diantaranya Perang Demi Budaya yang ditulis Benni E Matindas, Perang Tondano: Kisah Heroik Dan Kontroversi Di Baliknya dari Audy WMR Wuisang serta Minawanua Menggemakan Moral Manusia Moraya oleh Pendeta Danny R Weku.

Pada umumnya kata Kaunang, sejarah Perang Tondano menggunakan referensi dari penulis barat, seperti Godee Molsbergen dengan buku berjudul Geschiedenis van de Minahasa tot 1829. Ada pun buku sebelumnya yang menceritakan Perang Tondano yakni karya Reinward CGC dengan judul Reisnaar Het Oostelijk Gedeete van den Indischen Archipel in Het Yaar 1821 dan beberapa buku lainnya. “Kelebihan dari buku ini dari sumber sejarah,” katanya.

Kaunang membaca buku Perang Tondano dari belakang. Kaunang beralasan, kekuatan sejarah adalah sumber atau data yang dicantumkan di bagian daftar pustaka. “Saya sebenarnya merasa kecil ketika membaca buku ini. Karena penulis (Pak Johan) sudah menulis menggunakan arsip-arsip kolonial,” tuturnya.

Arsip Kolonial biasanya berjenis manuskrip atau naskah tulisan tangan, baik tulisan tangan (dengan pena, pensi) maupun ketikan (bukan cetakan) yang kebanyakan digunakan untuk sejarah kontemporer. “Kemudian buku-buku primer tapi sekunder, misalnya majalah yang menulis sezaman seperti Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITVL), Tijdschrift voor Indische Taal Landen Volkenkunde (TBG) dan lain sebagainya,” sebutnya.

Kaunang mengungkapkan, buku Perang Tondano berbeda dengan buku-buku lainnya. Bab pendahuluan atau pertama biasanya diawali dengan maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan menggambarkan latar belakang sosial dan budaya serta lain sebagainya. Menurut Kaunang, Mambuh sebagai penulis lebih menekankan pada aspek nasionalisme. “Jadi saya mulai membayangkan hal itu luar biasa nasionalismenya tentang Tondano ini,” imbuhnya.

Lanjutnya, buku-buku sejarah yang membahas Sulut dan Minahasa hanya konsumsi bagi masyarakatnya. “Karena apa? Kita orang Minahasa lebih banyak bercerita. Itulah yang membuat dalam buku-buku sejarah Indonesia, khusunya Perang Tondano tidak diisi,” paparnya.
“Bisa saja saudara-saudara buku kedua dari buku ini diberikan kepada sejarawan Indonesia di Jakarta,” tutupnya. (rf)


Pos terkait