Razia Buku, Pemberangusan Peradaban dan Pembiaran Negara

Manado,DetikManado.com – Razia terhadap buku-buku yang dinilai mengandung ajaran Marxisme atau yang beraliran ‘kiri’ terjadi di sejumlah daerah. Terkait hal ini, Ismail Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Institute angkat bicara.

Dalam siaran pers yang diterima redaksi DetikManado.com, Senin (05/08/2019), Ismail mengatakan,buku adalah salah satu ciri peradaban manusia sebagai instrumen yang mendokumentasikan ilmu pengetahuan yang atas dasar apapun tidak bisa dibatasi, dibredel, bahkan dilarang, baik oleh individu maupun oleh negara. “Ada hak atas kebebasan berpikir dan berekspresi yang melekat pada diri penulis buku. Ada pula hak atas manfaat ilmu pengetahuan yang melekat pada publik sebagai manusia pembelajar,” ujarnya.

Di tengah kebutuhan meningkatkan literasi warga untuk memperkuat civic knowledge dan civic engagement dalam demokrasi, lanjut dia, pembiaran razia buku oleh aparat negara dan komponen masyarakat adalah bentuk kemunduran peradaban manusia. “Paranoia terhadap komunisme kembali menyasar kebebasan sipil dan hak atas kebudayaan warga. Dalam dua minggu berturut-turut razia buku yang dituding berbahaya karena bermuatan komunisme terjadi di masyarakat,” ungkapnya.

Dua mahasiswa di Probolinggo, Senin (29/07/2019) ditangkap Polsek Kraksaan karena menggelar lapak buku yang berisi buku biografi tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Buku tersebut diamankan lalu diambil alih oleh MUI. Aksi razia juga dilakukan oleh sekelompok orang di Makassar (3/8/2019) terhadap sejumlah buku yang berisi ilmu pengetahuan tentang paham marxisme termasuk sejumlah buku ajar. “SETARA Institute menentang keras razia buku dan pembiaran aparat negara terhadap tindakan main hakim sendiri atas dasar paranoia pada pemikiran-pemikiran filsafat, politik, dan gerakan kebudayaan,” tegas Ismail.

Tindakan aparat dan juga kelompok lainnya mencerminkan ketidakpahaman pada muatan buku dan konsep Komunisme serta Marxisme yang menjadi alasan tindakan melawan hukum yang mereka lakukan. “Tindakan ini jelas bertentangan dengan komitmen penegakan HAM, terutama kebebasan berpikir, hak milik pribadi, dan jaminan hak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan,” ujarnya.

Ismail menambahkan, SETARA Institute juga menegaskan, razia buku yang dilakukan merupakan pelanggaran serius atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-VIII/2010, No. 13/PUU-VIII/2010, dan No. 20/PUU-VIII/2010, yang pada intinya mencabut keberlakuan UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum. “Putusan tersebut menegaskan bahwa pelarangan buku hanya dapat dilakukan setelah melewati proses peradilan. Oleh karena itu, segala tindakan pelarangan buku oleh aparat keamanan dan oleh kelompok masyarakat adalah tindakan extra-judicial yang tidak dapat dibenarkan,” tegasnya.

Terkait kondisi ini, lanjutnya, SETARA Institute mendesak Kapolri membuat kebijakan turunan yang memandu aparat Polri di lapangan agar tidak melakukan tindakan melawan hukum dan melanggar Konstitusi. Kapolri juga mengambil tindakan hukum pada kelompok masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri. “Negara tidak boleh membiarkan kelompok masyarakat melakukan razia dan pemberangusan ilmu pengetahuan. Jika dibiarkan, maka sama saja elemen negara merestui tindakan pelanggaran HAM,” tegasnya.(joe)

Komentar Facebook

Pos terkait