Manado, DetikManado.com – Politeknik Negeri Nusa Utara (Polnustar) bersama
Greenpeace Indonesia merilis hasil penelitian terbaru tentang kondisi perairan Pulau Sangihe, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulut.
Hasil ini dipaparkan dalam kegiatan yang digelar di Manado, Sulut, pada Rabu (1/10/2025), dengan menghadirkan Prof Dr Ir Frans G Ijong, MSc, akademisi dan peneliti Polnustar serta Afdillah, Juru
Kampanye Laut Greenpeace Indonesia.
Penelitian ini menunjukkan peningkatan signifikan kadar logam berat di
perairan dan ikan yang mengancam ekosistem, sumber pangan, dan kesehatan
masyarakat Kepulauan Sangihe, yang berada di pusat segitiga terumbu karang dunia, merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia dan telah ditetapkan sebagai area penting secara ekologis dan biologis (EBSAs).
Namun, status penting ini terancam oleh aktivitas pertambangan emas yang semakin masif.
Laporan ini mencatat adanya alih fungsi lahan yang signifikan dengan peningkatan luas lahan untuk pertambangan emas mencapai 45,53% antara tahun 2015 hingga 2021.
Pembukaan lahan ini menyebabkan erosi yang membawa material berbahaya ke laut
dengan cepat melalui peristiwa runoff yang ditunjang dengan kontur perbukitan terjal di
wilayah pesisir.
Hasil uji laboratorium di perairan Teluk Binebas menemukan konsentrasi logam berat yang telah melampaui baku mutu. Kadar Arsen (As) di permukaan air laut mencapai 0,0228 mg/L (standar: 0,012 mg/L) dan Timbal (Pb) mencapai 0,0126 mg/L (standar:
0,008 mg/L). Padahal, berdasarkan dokumen AMDAL PT Tambang Mas Sangihe (TMS) kandungan Arsen di Sangihe sekitar <0.0003 pada 2017 dan <0.0001 pada 2020.
Pencemaran ini berdampak langsung pada ekosistem pesisir, ditandai dengan
kerusakan dan kematian vegetasi mangrove serta fenomena pemutihan terumbu karang (coral bleaching).
“Temuan ini adalah alarm keras. Sangihe, sebuah pulau kecil dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, sedang menghadapi ancaman kerusakan lingkungan yang sistematis. Situasi ini memerlukan respon serius dari pemerintah untuk mencegahdampak yang lebih luas dan memulihkan kondisi yang sudah rusak,” papar Afdillah.
Logam berat yang mencemari laut tidak berhenti di perairan, tapi masuk juga ke dalam rantai makanan. Sampel ikan layang, sumber protein utama masyarakat, ditemukan mengandung merkuri/raksa (Hg), arsen, dan timbal. Senyawa turunan merkuri, yaitu metilmerkuri, bersifat neurotoksin yang dapat menembus plasenta dan jaringan darah-otak, sangat berbahaya bagi janin dan anak-anak. Analisis risiko berdasarkan
tingkat konsumsi ikan lokal menunjukkan bahwa paparan merkuri harian pada balita
dapat melebihi batas aman hingga empat kali lipat.
“Data kami menunjukkan adanya kerusakan nyata dan terukur, baik di lingkungan maupun sosial-ekonomi. Peningkatan logam berat tidak hanya merusak laut sebagai sumber kehidupan, tetapi juga menempatkan masa depan anak-anak kita dalam risiko kesehatan jangka panjang. Padahal UU No. 1 Tahun 2014 secara tegas melarang aktivitas tamban.g di pulau kecil seperti Sangihe,” kata Prof Dr Ir Frans G Ijong MSc.
Dampak negatif juga terjadi pada ekonomi masyarakat. Para nelayan kini menghadapi
berbagai tekanan. Selain cuaca ekstrem dan persaingan dengan nelayan industri yang menggunakan rumpon, kerusakan ekosistem akibat tambang memperparah kondisi mereka.
Laporan EcoNusa dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut
Pertanian Bogor (PKSPL IPB) menunjukkan volume tangkapan di Sangihe turun hingga
69,04% setelah aktivitas tambang marak, terutama untuk ikan cakalang, bobara,
baronang, dan kakap merah. Penurunan tangkapan ikan ini menyebabkan pendapatan nelayan anjlok rata-rata 27,3%.
Di sisi lain, janji kesejahteraan dari sektor tambang tidak terwujud bagi para pekerja
tambang. Sebagian besar bekerja tanpa kontrak dan pelindungan hukum. Mereka
terjebak dalam sistem bagi hasil yang tidak adil, yang seringkali membuat mereka
memiliki lebih banyak utang dibandingkan pendapatan.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, Polnustar dan Greenpeace Indonesia
merekomendasikan pemerintah untuk menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Sangihe yang tidak sejalan dengan konsep ekonomi biru dan ekonomi hijau di Provinsi
Sulut serta Asta Cita Presiden RI. Selanjutnya menetapkan moratorium penerbitan izin pertambangan baru di Sangihe karena termasuk pulau kecil; melakukan rehabilitasi terhadap ekosistem mangrove dan terumbu karang yang rusak; melaksanakan pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat, terutama anak-anak, di sekitar wilayah
tambang; serta menetapkan Kepulauan Sangihe sebagai kawasan pelindungan darat dan laut.
“Sangihe adalah kawasan ekologis yang unik dan tak tergantikan. Aktivitas
pertambangan yang didorong keuntungan jangka pendek ini akan menimbulkan
kerusakan sumber daya alam secara permanen. Pilihan saat ini adalah bertindak tegas untuk menghentikan perusakan atau membiarkan Sangihe kehilangan masa depan demi kepentingan segelintir pihak,” pungkas Profesor Ijong.
Kegiatan yang dihadiri puluhan jurnalis serta penggiat lingkungan ini juga sepakat untuk menolak pertambangan di Sulut karena mengancam kelestarian lingkungan. (yos)