Oleh: Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd
(Pranata Humas Ahli Muda pada Kanwil Kemenag Sulut)
Di era ketika kabar bohong bisa menyebar lebih cepat daripada doa, dan algoritma mesin pencari lebih menentukan opini publik ketimbang khutbah di mimbar, pertanyaan penting muncul: bagaimana pemerintah—khususnya Kementerian Agama—dapat menjaga komunikasi yang tulus, jernih, dan manusiawi?
Kehumasan tidak lagi sekadar tentang menyalin pidato menteri atau mengunggah foto kegiatan di media sosial. Ia kini menyangkut nasib kerukunan, kepercayaan publik, bahkan kemanusiaan itu sendiri. Dalam arus deras digitalisasi, kehadiran Artificial Intelligence (IA) menjadi sekaligus berkah dan tantangan. Bagi Pranata Humas di Kementerian Agama, IA dapat menjadi obor yang menerangi jalan Asta Protas, atau justru bara yang membakar legitimasi publik jika salah dipakai.
Dari Publikasi ke Relasi Digital
Kehumasan pemerintah tidak lagi sekadar menerbitkan siaran pers atau mempublikasikan acara seremonial. Ia kini dituntut hadir sebagai “jembatan empati” antara negara dan warganya. Dalam konteks Kementerian Agama, peran humas menjadi semakin kompleks karena bersinggungan langsung dengan isu penting dan sensitif dalam masyarakat: agama.
Sejak Kementerian Agama mencanangkan Asta Protas (delapan program prioritas) yang kini tinggal tujuh karena urusan haji dipisahkan, peran humas ditantang untuk tidak hanya menjadi corong, melainkan juga fasilitator komunikasi publik. Di sinilah Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan masuk sebagai pengubah lanskap, sekaligus batu uji moral: apakah teknologi ini akan menguatkan misi kemanusiaan atau justru mereduksi humas menjadi sekadar algoritma?
AI dan Transformasi Peran Pranata Humas
Pranata Humas pemerintah—termasuk di Kementerian Agama—selama ini menjalankan fungsi ganda: komunikasi persuasif dan manajemen citra publik. Namun, dalam era digital yang penuh banjir informasi, kredibilitas tidak lagi dibangun lewat seremonial, melainkan lewat narasi otentik dan data yang transparan.
AI menawarkan peluang besar:
- Analisis Sentimen Publik: dengan natural language processing (NLP), humas dapat memantau percakapan warga terkait isu keagamaan di media sosial secara real-time.
- Produksi Konten Otomatis: chatbot atau generator teks mampu menyusun draf berita, rilis, bahkan Q&A publik.
- Segmentasi Audiens: AI membantu memahami kebutuhan komunikasi lintas kelompok keagamaan, usia, dan latar sosial.
- Deteksi Krisis: algoritma prediktif dapat membaca potensi konflik narasi sebelum meledak di ruang publik.
Seperti diingatkan Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism (2019), teknologi digital selalu membawa ambivalensi: ia bisa menjadi alat kontrol yang menindas, atau alat partisipasi yang membebaskan. Bagi Humas Kemenag, pilihan ada pada bagaimana AI digunakan—sebagai mesin propaganda atau mesin empati.
Asta Protas dalam Sorotan AI
- Meningkatkan Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan
Di tengah polarisasi identitas, humas harus mengawal pesan kerukunan. AI dapat memetakan narasi kebencian dan hoaks yang mengganggu relasi antarumat. Dengan big data, pranata humas bisa mengintervensi dengan konten kontra-narasi berbasis kasih sayang. Namun, seperti diingatkan Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century (2018), teknologi bukan netral. Algoritma dapat memperkuat polarisasi jika dikuasai oleh pihak yang salah. Tantangan bagi humas adalah memastikan bahwa “kerukunan digital” tidak sekadar jargon, melainkan praktik komunikasi berbasis empati.
- Penguatan Ekoteologi
Konsep ekoteologi—membangun kesadaran spiritual yang berpihak pada lingkungan—membutuhkan narasi yang membumi. AI bisa membantu menyusun kampanye digital tentang isu iklim dengan bahasa yang kontekstual untuk tiap komunitas agama. Contoh konkret: analisis big data dapat memetakan persepsi publik terhadap krisis lingkungan, lalu menghasilkan strategi komunikasi lintas iman. Namun, kritik dari Naomi Klein dalam This Changes Everything (2014) relevan: teknologi sering dipakai menutupi akar struktural krisis ekologi. Tugas humas adalah memastikan AI tidak berhenti pada kampanye permukaan, tapi menyentuh perubahan perilaku nyata.
- Layanan Keagamaan Berdampak
Kemenag dituntut menghadirkan layanan publik yang bukan hanya administratif, tapi juga bermakna. AI dapat dipakai untuk chatbot pelayanan keagamaan, sistem antrean digital, hingga monitoring kepuasan publik. Tetapi ada bahaya “dehumanisasi layanan”. Publik yang datang ke kantor Kemenag membawa problem emosional dan spiritual, bukan sekadar data administrasi. Karenanya, humas harus memastikan sentuhan manusiawi tidak hilang. Seperti diingatkan Martha Nussbaum dalam Upheavals of Thought (2001), empati adalah fondasi pelayanan publik yang etis.
- Mewujudkan Pendidikan Unggul, Ramah, dan Terintegrasi
AI menawarkan personalisasi pendidikan: analisis kebutuhan siswa, pembelajaran adaptif, dan deteksi masalah literasi dini. Humas Kemenag dapat berperan mengomunikasikan keberhasilan transformasi ini sekaligus meredam ketakutan publik akan “robotisasi” guru. Henry Jenkins dalam Convergence Culture (2006), menekankan pentingnya narasi partisipatif. Pendidikan berbasis AI tidak boleh memutus dialog antara guru dan murid. Humas harus menjaga komunikasi agar publik melihat AI sebagai mitra, bukan pengganti.
- Pemberdayaan Pesantren
Pesantren adalah pilar sosial keagamaan yang kaya tradisi. AI dapat membantu pesantren memetakan kurikulum digital, mengembangkan literasi informasi, hingga memperluas jejaring dakwah berbasis data. Namun, kritik muncul: apakah pesantren siap secara budaya menerima AI? Humas harus menarasikan AI bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai alat pemberdayaan. Sebagaimana ditegaskan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), pendidikan harus membebaskan, bukan menghegemoni. Maka, AI harus ditempatkan sebagai sahabat santri, bukan penakluk tradisi.
- Pemberdayaan Ekonomi Umat
AI membuka peluang pemetaan ekonomi berbasis komunitas: potensi zakat, wakaf produktif, hingga UMKM umat. Dengan analisis data, humas bisa menyusun strategi komunikasi yang menumbuhkan kepercayaan publik pada program pemberdayaan. Namun, bahaya komersialisasi juga nyata. Nick Srnicek dalam Platform Capitalism (2016), memperingatkan dominasi platform digital dalam menghisap nilai ekonomi. Tugas humas adalah menjaga agar pemberdayaan umat tidak terseret dalam logika kapitalisme platform yang eksploitatif.
- Digitalisasi Tata Kelola
Program digitalisasi tata kelola adalah pintu masuk terbesar AI di Kemenag. Dari sistem administrasi, transparansi anggaran, hingga pelayanan daring. Di sini humas harus menjadi “penjaga narasi transparansi” agar publik percaya bahwa digitalisasi bukan sekadar kosmetik. Namun, seperti diperingatkan Evgeny Morozov dalam To Save Everything, Click Here (2013), digitalisasi sering dipuja sebagai solusi instan, padahal bisa menutupi problem struktural. Humas harus berani mengungkap paradoks ini: digitalisasi harus memanusiakan, bukan memanipulasi.
Risiko: Antara Etika dan Politik
Penggunaan AI dalam humas Kemenag tidak lepas dari risiko:
- Bias Algoritma: narasi tertentu bisa diutamakan, sementara suara minoritas terpinggirkan.
- Privasi Publik: analisis big data bisa melanggar hak warga jika tak diatur etika.
- Dehumanisasi Komunikasi: publik merasa “berhadapan dengan mesin” alih-alih pejabat manusia.
- Instrumentalisasi Politik: teknologi bisa dipakai memperkuat kekuasaan, bukan pelayanan.
Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975), mengingatkan teknologi komunikasi selalu terkait kekuasaan. Maka, humas Kemenag harus terus kritis: AI tidak boleh jadi alat penaklukan wacana, melainkan pembebasan komunikasi.
Humas sebagai Penjaga Empati
Pranata Humas di Kementerian Agama kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, AI membuka peluang besar untuk memperkuat misi Asta Protas: kerukunan, ekoteologi, pendidikan unggul, pemberdayaan pesantren, ekonomi umat, layanan berdampak, dan tata kelola digital. Namun, sisi lain, AI bisa menjebak humas pada jebakan algoritma: kehilangan empati, terseret komersialisasi, atau menjadi alat politik. Jalan tengahnya adalah etika komunikasi publik.
Seperti ditulis Jürgen Habermas dalam The Theory of Communicative Action (1984), komunikasi publik harus berorientasi pada konsensus rasional, bukan manipulasi. Inilah yang harus dijaga humas: menjadikan AI sebagai sarana memperkuat ruang publik yang dialogis, bukan sekadar arena propaganda. Jika berhasil, humas Kemenag tidak hanya sekadar corong program, melainkan penjaga kemanusiaan digital. (*)
Daftar Referensi
- Foucault, Michel. Discipline and Punish. 1975.
- Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. 1970.
- Habermas, Jürgen. The Theory of Communicative Action. 1984.
- Harari, Yuval Noah. 21 Lessons for the 21st Century. 2018.
- Jenkins, Henry. Convergence Culture. 2006.
- Klein, Naomi. This Changes Everything. 2014.
- Morozov, Evgeny. To Save Everything, Click Here. 2013.
- Nussbaum, Martha. Upheavals of Thought. 2001.
- Srnicek, Nick. Platform Capitalism. 2016.
- Zuboff, Shoshana. The Age of Surveillance Capitalism. 2019.