Oleh: Herkulaus Mety SFils MPd*
Penyitaan buku karya Romo Franz Magnis-Suseno SJ oleh aparat kepolisian dalam penanganan kasus demonstrasi baru-baru ini menimbulkan polemik dan menuai kritik dari publik. Salah satu buku yang disita adalah Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Franz Magnis-Suseno, 1983). Ironisnya, karya tersebut bukanlah propaganda komunis, melainkan kajian filosofis dan historis yang justru mengajak pembaca memahami secara kritis gagasan Marx, lengkap dengan konteks revisi dan perdebatan intelektual yang mengikutinya.
Namun, polisi menjadikannya barang bukti yang seolah meneguhkan tuduhan “paham anarkis” atau “komunis” pada tersangka. Penyitaan ini bukan sekadar salah kaprah, melainkan bentuk ketakutan negara terhadap wacana kritis.
Kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya pemahaman aparat terhadap demokrasi, kebebasan sipil, dan literasi. Dari perspektif filosofis, etis, psikologis, sosial, antropologis, hingga sistem perekrutan polisi dan literasi digital, tindakan ini adalah skandal yang tak bisa didiamkan.
Kekuasaan yang Takut pada Kata
Buku adalah senjata tanpa peluru. Ia mengubah pikiran, membentuk kesadaran, dan menciptakan kemungkinan baru bagi masa depan. Dengan menyita buku, negara sedang melawan abstraksi: ide.
Michel Foucault dalam Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1975) menegaskan bahwa “pengetahuan dan kekuasaan saling terkait.” Kekuasaan tidak hanya menindas tubuh, tetapi juga mengatur diskursus. Penyitaan buku Magnis-Suseno adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan berupaya menentukan wacana mana yang boleh hidup dan mana yang dibungkam.
Buku ini, yang sejatinya merupakan kritik sistematis terhadap pemikiran Marx, dijadikan barang bukti kriminal. Dengan begitu, polisi bukan hanya keliru memahami isi, tetapi juga ikut membentuk regime of truth versi mereka: bahwa segala yang menyebut “Marx” adalah berbahaya.
Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962) menekankan bahwa demokrasi membutuhkan ruang publik di mana warga bisa berargumentasi rasional. Buku adalah salah satu medium ruang publik itu. Dengan menyita buku, polisi merusak infrastruktur komunikasi demokrasi: mengganti debat rasional dengan teror intelektual.
Lebih jauh lagi, penyitaan ini menunjukkan kecenderungan negara menolak “risiko berpikir.” Padahal, sebagaimana ditulis Franz Magnis-Suseno dalam Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (1987), manusia menjadi bermartabat justru karena berani berpikir dan mengambil sikap moral berdasarkan akal budi.
Polisi, Moralitas, dan Pengkhianatan Demokrasi
Etika adalah jantung dari keberadaan aparat negara. Polisi tidak hanya memelihara ketertiban, tetapi juga menjaga moralitas publik.
Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism (1951) memperingatkan bahwa totalitarianisme lahir ketika pluralitas ide dibungkam. Politik sejati, menurut Arendt, adalah ruang di mana perbedaan pendapat dihormati. Dengan menyita buku Magnis-Suseno, polisi justru menutup ruang pluralitas dan menebarkan ketakutan.
Arendt dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963) juga menjelaskan bahwa kejahatan besar bisa lahir dari kepatuhan kecil. Polisi yang menyita buku mungkin merasa hanya “menjalankan perintah.” Namun kepatuhan tanpa refleksi adalah inti kejahatan banal. Tindakan mereka adalah pengkhianatan terhadap demokrasi, karena mereka memilih patuh pada ketakutan, bukan pada kebenaran etis.
Etika publik juga menuntut adanya praduga tak bersalah. Namun dalam kasus ini, kepemilikan buku dianggap bukti kriminal. Membaca Marx dianggap sama dengan menyebarkan komunisme. Padahal, membaca adalah hak intelektual, bukan tindakan kriminal.
Ketakutan Kolektif dan Sensor Diri
Efek psikologis penyitaan ini sangat serius. Pada tingkat individu, orang yang melihat bukunya disita akan mengalami trauma. Membaca tidak lagi netral, melainkan sesuatu yang berisiko. Inilah yang disebut chilling effect dalam literatur hukum dan psikologi: ketakutan yang membuat orang memilih diam.
Slavoj Žižek dalam The Sublime Object of Ideology (1989) menegaskan bahwa ideologi bekerja bukan hanya lewat larangan eksplisit, tetapi juga lewat ketakutan internal. Negara menanamkan fobia terhadap kata “Marx” sehingga masyarakat menjauhinya tanpa perlu melarang secara langsung.
Pada tingkat masyarakat, penyitaan menciptakan rasa ketidakpercayaan. Polisi dipersepsi bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai pengawas pikiran. Akibatnya, relasi sosial antara negara dan warga rusak.
Trauma kolektif ini mengingatkan pada masa Orde Baru, ketika buku Pramoedya Ananta Toer dan Tan Malaka dilarang, dan masyarakat dicekam ketakutan hanya karena memiliki bacaan. Kini, sejarah itu berulang dalam wajah yang lebih halus, tetapi sama menakutkan.
Buku, Kekuasaan, dan Subordinasi Warga
Secara sosial, penyitaan buku menunjukkan pola klasik: pengetahuan yang membebaskan dianggap ancaman.
Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (1988) menjelaskan bagaimana negara dan media menciptakan persetujuan semu melalui narasi keamanan. Dalam kasus ini, label “buku anarkis” atau “komunis” dipakai untuk membangun legitimasi penindasan. Masyarakat diminta percaya bahwa dengan menyita buku, negara sedang melindungi mereka. Padahal, yang dilindungi hanyalah ketakutan negara sendiri.
Kehidupan sosial pun terdampak. Diskusi kritis di kampus atau komunitas menjadi rentan. Aktivis, mahasiswa, bahkan dosen bisa dicurigai hanya karena membaca. Akhirnya, masyarakat menginternalisasi subordinasi: tunduk sebelum dipaksa.
Budaya Membaca yang Dimutilasi
Membaca adalah praktik budaya. Ia membentuk cara manusia memahami dunia, membangun identitas, dan menuliskan sejarahnya.
Yuval Noah Harari dalam Sapiens: A Brief History of Humankind (2011) menulis bahwa manusia hidup dari narasi. Narasi adalah kekuatan yang memungkinkan manusia bekerja sama dalam jumlah besar. Negara, agama, hukum, semua dibangun di atas narasi.
Buku Magnis-Suseno adalah bagian dari narasi intelektual bangsa Indonesia. Ia mewakili upaya seorang intelektual Katolik untuk memahami Karl Marx dan memberi konteks bagi bangsa yang trauma oleh komunisme. Dengan menyitanya, negara berusaha memutus kesinambungan narasi kritis itu.
Secara antropologis, ini adalah mutilasi budaya membaca. Indonesia sudah terkenal dengan indeks literasi yang rendah. Tindakan polisi makin memperparah stigma: membaca kritis adalah aktivitas berbahaya. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya miskin buku, tetapi juga miskin imajinasi.
Perekrutan, Pendidikan, dan Budaya Otoritarian
Kasus penyitaan buku ini membuka borok sistemik dalam kepolisian. Proses perekrutan aparat lebih menekankan fisik, kedisiplinan, dan loyalitas. Kemampuan analisis kritis, pemahaman hukum, apalagi literasi filsafat, jarang disentuh. Pendidikan kepolisian mungkin lebih sibuk melatih baris-berbaris ketimbang memperluas horizon berpikir.
Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014) menyebut fenomena ini sebagai decay of institutions: institusi gagal beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Polisi Indonesia masih hidup dalam paradigma lama, mengandalkan kekuatan koersif ketimbang kecerdasan dialogis.
Martha Nussbaum dalam Creating Capabilities (2011) mengingatkan bahwa salah satu kapabilitas dasar manusia adalah kebebasan berpikir dan berimajinasi. Negara berkewajiban menjamin hal ini. Namun polisi kita justru menginjaknya. Mereka bukan menjamin kapabilitas warga, melainkan merampasnya.
Budaya institusi pun memperparah. Dalam tubuh polisi, kritik dianggap pembangkangan. Loyalitas buta lebih dihargai ketimbang keberanian berpikir. Akibatnya, polisi menjadi alat kekuasaan yang anti-intelektual, bukan pelindung demokrasi.
Medan Baru Perlawanan
Di era digital, penyitaan buku fisik nyaris tidak berguna. Isi buku Magnis-Suseno beredar di perpustakaan digital, forum akademik, bahkan media sosial.
Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962) menekankan pentingnya ruang publik. Kini, ruang publik itu ada di dunia digital. Penyitaan justru membuat publik penasaran, mengunduh PDF, membagikan link, dan menghidupkan kembali diskusi.
Namun ancaman lain muncul: negara bisa memperluas represi ke ranah digital. Situs bisa diblokir, forum bisa diawasi, diskusi bisa dikriminalisasi. Inilah wajah baru otoritarianisme: sensor digital.
Di sisi lain, digital memberi peluang perlawanan. Masyarakat bisa menghidupkan literasi dengan cara berbagi file, diskusi daring, hingga membuat kanal alternatif. Penyitaan fisik mungkin berhasil, tetapi perlawanan digital akan selalu menemukan jalan.
Demokrasi yang Gagal Berdebat
Kasus penyitaan buku Magnis-Suseno memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia masih gagal menghadapi kritik intelektual. Negara takut pada debat, memilih membungkam ketimbang berargumentasi.
Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism (1951) menegaskan bahwa totalitarianisme tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari kebiasaan kecil mengekang kebebasan berpikir. Penyitaan buku adalah salah satu kebiasaan itu.
Slavoj Žižek dalam The Sublime Object of Ideology (1989) menambahkan bahwa ideologi paling berbahaya justru ketika bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Jika masyarakat takut membawa buku, maka negara telah berhasil menanamkan ideologi kontrol.
Noam Chomsky dalam Necessary Illusions: Thought Control in Democratic Societies (1989) menulis bahwa demokrasi tanpa kebebasan informasi hanyalah ilusi. Ketika buku dijadikan senjata, demokrasi tinggal ritual kosong: ada pemilu, tetapi tidak ada kebebasan berpikir.
Dari Reformasi Polisi hingga Perlawanan Intelektual
Untuk mencegah kemunduran lebih jauh, sejumlah langkah perlu segera dilakukan:
- Regulasi jelas: Penyitaan buku hanya boleh dilakukan melalui putusan pengadilan, bukan tafsir aparat.
- Pendidikan polisi: Kurikulum kepolisian wajib memasukkan filsafat politik, HAM, literasi kritis. Aparat harus bisa membaca dan berdiskusi, bukan hanya menembak.
- Pengawasan independen: Masyarakat sipil dan akademisi dilibatkan dalam mengawasi tindakan penyitaan.
- Literasi publik: Masyarakat perlu digerakkan membaca karya Magnis-Suseno, Marx, Pramoedya, atau siapa pun, agar stigma “buku berbahaya” hancur.
- Perlawanan intelektual: Akademisi, jurnalis, mahasiswa wajib melawan kriminalisasi bacaan dengan cara paling sederhana: membaca lebih banyak, mendiskusikan lebih keras.