Dua Negara, Satu Harapan

Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd.

Oleh: Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd*

Panggung PBB dan Suara Indonesia
Pidato Presiden Prabowo Subianto di forum Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 23 September 2025 mencatatkan satu babak penting dalam diplomasi Indonesia. Dengan tegas, ia menyatakan dukungan pada solusi dua negara sebagai jalan damai yang adil dan bermartabat bagi rakyat Palestina maupun Israel. Bukan sekadar pernyataan diplomatik, tetapi sebuah seruan moral bahwa perang tidak bisa terus-menerus diwariskan dari generasi ke generasi.
Indonesia telah lama konsisten mendukung Palestina. Dari era Soekarno hingga kini, politik luar negeri bebas aktif Indonesia selalu menegaskan posisi tersebut. Namun, kehadiran Prabowo di forum internasional kali ini menghadirkan dimensi baru: suara Indonesia bukan hanya sekadar solidaritas, melainkan juga strategi global untuk mendorong perdamaian abadi di Timur Tengah.
Pertanyaan besar yang muncul adalah: apa makna dukungan global terhadap solusi dua negara, termasuk suara lantang Indonesia, bagi masa depan politik dunia? Apa pula implikasinya terhadap posisi Indonesia dalam percaturan diplomasi internasional, terlebih di tengah tarik-menarik antara negara-negara pendukung Israel dan penentang solusi dua negara? Untuk menjawabnya, perlu refleksi multidimensi: filosofis, etis, politis, yuridis internasional, diplomatis, dan humanis.

Bacaan Lainnya

Antara Keadilan dan Kemanusiaan
Dukungan pada solusi dua negara bukan semata strategi politik, melainkan cermin dari keutamaan etis: keadilan, penghormatan martabat manusia, dan harapan akan perdamaian. Filsuf Yunani klasik seperti Aristoteles menekankan keadilan sebagai keutamaan tertinggi dalam kehidupan publik. Tanpa keadilan, tidak ada polis yang stabil.
Konflik Palestina-Israel adalah gambaran nyata ketidakadilan historis. Sejak Nakba 1948, rakyat Palestina terusir dari tanahnya, hidup sebagai pengungsi, atau berada di bawah pendudukan militer yang menindas. Dukungan terhadap solusi dua negara adalah upaya mengembalikan keadilan yang lama tertunda.
Karen Armstrong dalam The Battle for God (2000) menekankan bahwa fundamentalisme sering lahir dari rasa terancam dan termarginalkan. Maka, bila Palestina memperoleh pengakuan merdeka, sumber penderitaan yang sering dimanfaatkan kelompok ekstremis untuk mengobarkan kebencian bisa berkurang drastis. Dengan kata lain, penyelesaian adil bagi Palestina adalah cara untuk meredam radikalisme yang lahir dari rasa ketidakadilan.
Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man (1992) menyebut demokrasi liberal sebagai horizon akhir perjuangan politik umat manusia. Namun, konflik Palestina menunjukkan bahwa sejarah belum “berakhir”; tanpa keadilan substantif, demokrasi dan perdamaian global hanyalah ilusi. Dengan menguatnya dukungan pada solusi dua negara, ada peluang nyata untuk mengoreksi ketidakadilan historis yang selama ini menghambat tatanan dunia damai.
Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century (2018) menekankan bahwa konflik global sering dipicu oleh narasi identitas yang kaku dan eksklusif. Harari mengingatkan umat manusia untuk menulis narasi baru yang lebih inklusif: bahwa kita semua berbagi planet, penderitaan, dan masa depan yang sama. Dalam konteks Palestina-Israel, solusi dua negara bisa menjadi ruang untuk menulis ulang narasi kolektif: dari peperangan menuju koeksistensi.
Refleksi filosofis ini menegaskan bahwa keberanian Indonesia mendukung solusi dua negara bukan sekadar sikap politik, tetapi juga sumbangan moral dalam menegakkan keadilan universal.

Perdamaian sebagai Imperatif Moral
Dalam perspektif etika, perdamaian adalah imperatif moral. Immanuel Kant dalam Perpetual Peace (1795) menekankan bahwa perdamaian abadi harus menjadi cita-cita umat manusia, bukan sekadar perjanjian pragmatis. Kant mengingatkan, tanpa komitmen moral, perjanjian damai hanya akan menjadi jeda sebelum perang berikutnya.
Indonesia, dengan latar belakang budaya gotong royong dan falsafah Pancasila, mengajarkan nilai serupa. Kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial adalah prinsip moral yang mengikat seluruh warga. Ketika Indonesia bersuara di PBB, itu adalah gema dari nilai-nilai moral Pancasila yang menolak segala bentuk penindasan.
Etika global juga diperkuat oleh suara lintas agama. Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti (2020) menegaskan bahwa perdamaian sejati lahir dari pengakuan hak semua pihak untuk hidup dalam martabat. Tanpa keadilan bagi Palestina, tidak akan ada perdamaian abadi di Timur Tengah.
Imam Besar Al-Azhar, Syekh Ahmad al-Tayyeb, menekankan hal serupa: perdamaian hanya akan lahir jika hak-hak rakyat Palestina diakui sepenuhnya. Dari sini tampak, dimensi etis dari solusi dua negara bukan hanya tuntutan politik, tetapi panggilan moral kemanusiaan yang bergema dari berbagai tradisi religius dunia.

Realitas Geopolitik dan Perubahan Konstelasi
Dari sisi politik, dukungan global pada solusi dua negara menandai pergeseran penting. Dunia semakin lelah dengan konflik berkepanjangan di Timur Tengah. Perang hanya melahirkan penderitaan tanpa ujung, sementara perdamaian menjanjikan stabilitas dan kerjasama ekonomi.
Bagi Indonesia, posisi ini memperkuat citra sebagai negara demokrasi terbesar di dunia Muslim yang mampu menyeimbangkan idealisme dan pragmatisme politik. Indonesia tidak hanya menolak penjajahan, tetapi juga mendorong solusi realistis yang bisa diterima dunia.
Namun, dukungan ini juga membuka tantangan diplomatik, terutama dengan negara-negara yang menolak solusi dua negara seperti Amerika Serikat (AS) di bawah lobi pro-Israel tertentu, atau Israel sendiri. Relasi Indonesia-AS mungkin mengalami ketegangan, tetapi dalam jangka panjang, komitmen pada perdamaian justru akan meningkatkan reputasi Indonesia sebagai negara yang konsisten pada prinsip.

Hukum sebagai Fondasi Perdamaian
Konflik Palestina-Israel telah menjadi salah satu isu paling kompleks dalam hukum internasional. Resolusi PBB, termasuk Resolusi 242 (1967) dan 338 (1973), menuntut penarikan Israel dari wilayah pendudukan serta pengakuan terhadap hak semua negara untuk hidup damai. Namun, implementasinya kerap mandek akibat tarik-menarik politik global.
Dukungan pada solusi dua negara berarti menegakkan hukum internasional. Indonesia menegaskan bahwa tatanan global hanya bisa stabil jika hukum dihormati. Dalam konteks ini, dukungan Indonesia bukan hanya moral, tetapi juga legal: menuntut penerapan resolusi PBB yang sudah ada.
Tanpa kepatuhan hukum internasional, dunia akan kembali pada hukum rimba, di mana yang kuat menindas yang lemah. Suara Indonesia mengingatkan bahwa hukum harus menjadi pijakan utama perdamaian.

Tantangan dan Peluang bagi Indonesia
Secara diplomatis, dukungan Indonesia pada solusi dua negara membawa beberapa implikasi:
1. Peningkatan reputasi internasional – Indonesia dipandang sebagai juru bicara keadilan global dan mediator potensial dalam konflik.
2. Penguatan hubungan dengan negara-negara Arab dan Muslim – Indonesia semakin dipercaya sebagai mitra strategis dunia Islam.
3. Ketegangan dengan negara pro-Israel – Hubungan dengan Amerika Serikat atau negara Barat lain bisa menghadapi friksi, meski diplomasi ekonomi dan keamanan tetap berjalan.
4. Peluang kepemimpinan global – Indonesia bisa memimpin gerakan negara-negara Global South untuk memperjuangkan keadilan internasional.
Diplomasi Indonesia akan diuji: bagaimana tetap menjaga prinsip solidaritas pada Palestina, sekaligus merawat hubungan dengan negara yang memiliki kepentingan berbeda.

Islam Moderat Indonesia sebagai Pilar Reduksi Radikalisme
Pidato Prabowo di PBB sekaligus memperkuat peran Islam moderat Indonesia yang selama ini menjadi “jantung moral” bangsa. Organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah konsisten menampilkan wajah Islam yang damai, toleran, dan berkomitmen pada keadilan sosial. Pesantren sebagai basis pendidikan Islam tradisional juga telah menjadi benteng utama penyemaian nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin.
Dalam konteks Palestina, suara moderat ini sangat penting. Jika solusi dua negara mulai diakui dan proses perdamaian menemukan jalannya, maka narasi kelompok radikal yang selama ini memanfaatkan penderitaan Palestina untuk merekrut simpatisan akan melemah. Radikalisme sering tumbuh subur dari rasa ketidakadilan dan frustrasi kolektif. Dengan adanya jalan damai, peluang itu semakin kecil.
Karen Armstrong menegaskan bahwa fundamentalisme merupakan reaksi atas pengalaman marginalisasi. Dengan hilangnya salah satu sumber marginalisasi terbesar—yakni penderitaan Palestina—Indonesia punya peluang besar untuk menunjukkan wajah Islam moderat sebagai teladan global.
Dengan demikian, solusi dua negara tidak hanya berdampak pada diplomasi, tetapi juga pada stabilitas sosial-politik domestik Indonesia: mengurangi potensi radikalisme, memperkuat Islam moderat, dan meneguhkan Indonesia sebagai pusat peradaban Islam damai.

Dimensi Humanis dan Etika Global
Mendiang Paus Fransiskus berulang kali menyerukan agar konflik Palestina-Israel diselesaikan dengan cara yang menjamin keadilan bagi rakyat Palestina dan keamanan bagi Israel. Dalam doa Angelus 2023, Paus menyebut bahwa perdamaian sejati lahir dari pengakuan hak semua pihak untuk hidup dalam martabat.
Senada, Imam Besar Al-Azhar, Syekh Ahmad al-Tayyeb, menekankan pentingnya keadilan dalam setiap upaya rekonsiliasi. Baginya, tanpa pengakuan terhadap hak-hak Palestina, tidak mungkin lahir perdamaian yang tulus.
Suara lintas agama ini menunjukkan bahwa perdamaian bukan hanya agenda politik, tetapi panggilan moral kemanusiaan. Ketika agama-agama dunia bergandengan tangan mendukung solusi dua negara, maka radikalisme yang kerap memelintir agama untuk kekerasan akan kehilangan legitimasi.

Dua Negara, Satu Harapan
Dukungan global yang makin menguat pada solusi dua negara menandai titik balik penting dalam perjalanan panjang konflik Palestina-Israel. Indonesia, melalui pidato Prabowo di PBB, telah menunjukkan posisi tegas: berpihak pada keadilan, perdamaian, dan martabat kemanusiaan.
Dengan keterlibatan aktif, Indonesia tidak hanya berperan sebagai bangsa yang bersuara, tetapi juga sebagai penopang narasi Islam moderat, jembatan antaragama, dan duta perdamaian global.
Harapan besar kini terletak pada apakah dunia bersedia mengubah sejarah kelam peperangan menjadi sejarah baru koeksistensi.
“Dua negara, satu harapan”—itulah impian bersama umat manusia yang harus terus diperjuangkan. (*)


Pos terkait