Oleh: Dr Ferlansius Pangalila SH MH*
Pengantar
Seiring kegembiraan umat Katolik sedunia atas terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost, O.S.A sebagai Paus Leo XIV, jagad media sosial juga dikejutkan dengan unggahan seseorang yang berisi penghinaan terhadap Paus terpilih, yang merupakan pemimpin tertinggi Gereja Katolik sekaligus juga sebagai Kepala Negara Vatikan, yang merupakan negara sahabat Republik Indonesia.
Tentu kasus ini, dan beberapa kasus serupa sebelumnya tidak mudah menyulut amarah dan reaksi dari umat atau Gereja Katolik di Indonesia bahkan dunia, meski hati terluka, terhina dan sebagai korban, namun dengan sabar dan mendoakan kesehatan Paus terpilih dan bahkan pelakunya. Namun kejadian ini tentu tidak boleh dilihat sebagai insiden biasa. Karena insiden ini merupakan potensi disintegrasi sosial dan ancaman kerukunan umat beragama melalui ruang digital.
*Delik dalam Hukum Pidana*
Dalam konteks hukum pidana, perbuatan ini merupakan delik yang dapat dikenakan sanksi pidana, yakni penghinaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan intoleransi melalui Jagad digital yang berpotensi disintegrasi sosial. Di Indonesia, pasal berlapis dan beragam dapat digunakan untuk menjerat pelaku, tergantung bentuk dan dampak dari perbuatannya.
Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE (UU No.1 Tahun 2024), yang melarang ujaran kebencian melalui media sosial, yang mana pelaku yang sengaja mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok.
Pasal 310 dan 311 KUHP, tentang penghinaan dan pencemaran nama baik dapat menjerat pelaku karena menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal yang maksudnya supaya hal itu diketahui umum (Pasal 310 ayat (1) KUHP). Dengan menulis atau menyebarkan tulisan dapat merugikan atau merusak reputasi seseorang atau suatu lembaga (Pasal 310 ayat (2) KUHP).
_Ius Constituendum_ (hukum yang dicita-citakan dan akan berlaku di masa yang akan datang) yakni KUHP 2023 yang akan berlaku pada tahun 2026 nanti, mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Menyerang kehormatan atau nama baik seseorang melalui tuduhan, baik secara lisan, tulisan, atau gambar dan diketahui umum, sehingga dapat merugikan orang yang dituduh merupakan delik penghinaan (Pasal 433 KUHP). Termasuk menyebarkan rumor menyangkut keburukan seseorang dan apa yang dituduhkan tersebut tidak benar dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya merupakan delik pencemaran nama baik (Pasal 434 KUHP 2023)
Konten ataupun narasi bohong dan berisi tuduhan tidak benar terhadap Paus dengan tujuan merugikan dan merusak citra Paus melalui media sosial dengan tanpa didukung bukti, dan ternyata konten dan narasi serta tuduhan itu bertentangan dengan apa yang diketahui, maka ini merupakan fitnah yang dapat diancam dengan pidana.
Paus tidak hanya sebagai pribadi Pemimpin Agama yang dihina, difitnah dan dicemarkan nama baiknya karena ujaran kebencian melalui media sosial, Paus juga adalah seorang kepala negara Vatikan yang merupakan negara sahabat Republik Indonesia. Peranan Negara Vatikan yang sangat besar terhadap pengakuan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di awal-awal berdirinya negara ini mempunyai pengaruh yang sangat penting, selain itu Tahta Suci Vatikan merupakan subjek Hukum Internasional di samping negara dan organisasi internasional lainnya.
Oleh karena itu, penghinaan terhadap Paus dapat dikatakan sebagai kejahatan luar biasa, karena bukan penghinaan atau pencemaran nama baik yang biasa-biasa saja. Terlepas pada harkat dan martabat manusia yang sama tanpa membedakan latar belakang, namun karena luka dan korban tidak hanya Paus pribadi namun menyangkut Gereja dengan umat lebih dari 1 miliar penduduk dunia. Penghinaan ini tidak hanya melanggar hukum positif negara Indonesia namun mencoreng peradaban dan keadaban dunia terutama dunia digital yang mewajibkan etika dalam memanfaatkan media sosial.
Negara Indonesia yang merupakan negara hukum juga sebagai bagian dari masyarakat Internasional yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan saling menghormati antar sahabat dunia tak terkecuali dengan Tahta Suci Vatikan. Oleh karena itu hendaknya pemerintah melalui aparat penegak hukumnya untuk menindak tegas berdasarkan hukum yang berlaku terhadap pelaku ini.
*Dampak Sosial: Intoleransi di tengah Kebinekaan*
Dengan nilai Pancasila sebagai kohesi sosial menjadikan negara Indonesia sebagai satu-satunya negara di dunia dengan beragam SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang tersebar di berbagai pulau Nusantara dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu penghinaan terhadap Yang Mulia Paus tidak bisa dilepaskan dari risiko sosial yang dapat terjadi. Ujaran kebencian, penghinaan dan fitnah yang dilontarkan dan disebar ke publik melalui media sosial berpotensi menjadi api dalam sekam, dapat menimbulkan perpecahan serta merusak relasi sosial antar kelompok dalam masyarakat.
Di era digital, setiap konten negatif dengan cepat menyebar luas, termasuk konten-konten yang dapat memancing perpecahan seperti penghinaan terhadap Paus ini. Korban terutama umat Katolik tidak hanya terluka bahkan masyarakat Indonesia yang dengan susah payah dipersatukan dengan gampang dapat dihancurkan dengan berbagai berita hoaks melalui media sosial yang dapat memperbesar perbedaan dan menormalisasi kebencian.
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, masyarakat sangat rentan terhadap efek domino dari ujaran kebencian semacam ini. Reaksi sosial terhadap satu kasus penghinaan dan penodaan agama dapat memicu respons emosional, memupuk dendam sosial, dan dapat dijadikan pembenaran oleh kelompok-kelompok intoleran untuk melakukan berbagai aksi radikal. Tidak sedikit kasus terorisme terjadi diawali dengan bibit-bibit kebencian dan sikap intoleransi dari pelaku.
Intoleransi menguji Bhineka Tunggal Ika apakah hanya sebagai semboyan yang menghiasi konstitusi dan falsafah Pancasila atau memang sebagai wujud hidup bersama masyarakat Indonesia yang beragam ini. Penghinaan dan Penodaan agama seperti penghinaan terhadap kehormatan Paus yang adalah Tokoh tertinggi Umat Katolik Sedunia dan sekaligus juga Kepala Negara Vatikan yang adalah negara sahabat Indonesia. Merupakan tindakan intoleransi yang dapat membuka pintu konflik horizontal yang lebih luas, meskipun bagi Gereja Katolik tidak akan pernah bereaksi lebih dari sekedar seruan damai dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Jika tindakan intoleransi ini dibiarkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum tanpa ada tindakan tegas terhadap pelaku, maka masa depan bangsa dipertaruhkan. Dampak jangka panjang terhadap risiko sosial sangat besar dan berbahaya, yang mana tindakan pelecehan terhadap pimpinan agama meskipun dengan jumlah minoritas di Indonesia dengan tanpa konsekuensi yang jelas dan tegas akan mengakibatkan masyarakat menganggap intoleransi sebagai hal yang biasa dan bahkan dapat dilakukan melalui media sosial terhadap agama apalagi minoritas.
*Perlu Tindakan Hukum dan Sosial yang Nyata*
Percobaan pembunuhan Paus Yohanes Paulus II oleh Mehmet Ali Ağca pada tahun 1981 yang lalu, memberikan pelajaran yang berharga kepada kita bahwa Pelaku tetapi ditindak oleh Pemerintah Italia dengan menjatuhi hukuman penjara seumur hidup kepada pelaku, meski pada tahun 2000 diampuni dan dibebaskan oleh Presiden Italia atas permintaan Paus yang telah memaafkannya, kemudian diekstradisi ke Turki untuk menjalani hukuman karena kasus pembunuhan lain.
Penghinaan Paus memang menimbulkan luka bagi umatnya meskipun tidak akan pernah memudarkan kemuliaan Gereja Katolik dan diri Paus. Namun bukan berarti pelaku penghinaan ini dibiarkan dan tidak diproses secara hukum yang berlaku di negara ini. Penegakan hukum yang adil dan proporsional dengan tanpa pandang bulu akan memberikan efek sosial terhadap masyarakat bahwa penghinaan terhadap agama dan pemimpinnya bukanlah hal yang sepele yang bisa dimaafkan dengan dalih kebebasan berekspresi di dunia maya.
Bahwa penguatan literasi digital terhadap masyarakat memberikan pemahaman bahwa di dalam ruang digital juga memiliki keadaban, batas etik dan risiko tanggung jawab hukum. Oleh karena itu masyarakat perlu menjaga diri agar tidak melakukan penghinaan dan atau penodaan agama dalam berbagai bentuk intoleransi melalui media sosial. Di samping aparat pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan pemantauan dan moderasi konten oleh platform digital terus ditingkatkan, bersamaan dengan pemanfaatan teknologi untuk mendeteksi ujaran kebencian dan penghinaan sebelum menyebar luas.
Hal-hal ini diperlukan bukan sebagai bentuk pengekangan kebebasan berekspresi masyarakat di ruang publik digital, yang dilindungi dan dijamin oleh konstitusi, tetapi kebebasan yang diberikan oleh hukum bukan untuk merendahkan martabat manusia dan atau pemimpin agama tertentu. Tanggung jawab untuk menjaga ruang digital adalah tanggung jawab kita bersama agar tetap sehat, etis dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Menghina tokoh agama apa pun sejatinya bukan sekadar menyerang individu, tetapi juga melukai perasaan kolektif penganut agama tersebut dan sekaligus melukai hati nurani umat manusia pada umumnya. Oleh karena itu kehadiran negara melalui penegak hukum sangat diperlukan untuk menjaga moral publik. Apa bila kasus-kasi semacam ini dapat kita tangani dengan cerdas, adil, dan bijak, maka Indonesia akan semakin dewasa dalam menjaga kebersamaan dan pluralisme agama. Jika tidak, maka kebencian bisa menular secara luas dan akan merusak persatuan sosial yang telah kita bangun dengan susah payah sejak dahulu kala.
* Alumnus Pascasarjana Hukum dan Doktoral Kriminologi Universitas Indonesia
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.
HP/e-mail: 085219095999; ferlanpangalila@gmail.com