Oleh: Save Sangihe Island
Nun, di tahun 2018 Para Penambang Liar yang mengaku sebagai Penambang Rakyat Sangihe satu per satu ditangkapi memenuhi sel sel tahanan Polres dan Polsek Polsek Sangihe. Katanya, yah, katanya, Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Rakyat wajib taat hukum.
Lalu di tahun 2021, dari negeri yang bernama Pusat datanglah Kontrak Karya (KK) PT Tambang Mas Sangihe (TMS) ke Pulau Sangihe. Luas Izin Operasi Produksinya seluas 42.000 hektar mencakup 7 Kecamatan dan 80 Desa, atau lebih dari setengah Pulau Sangihe. Salah satu pasal dalam KK PT TMS menyebutkan klausula relokasi warga. Ini izin Operasi Produksi, bukan izin Eksplorasi. Maknanya apapun yang berdiri di atas lahan 42.000 hektar tersebut dapat disingkirkan oleh PT TMS demi mengeruk emas di bawah tanah dengan alasan relokasi atas bantuan Pemerintah berdasarkan KK.
Sebagian rakyat Sangihe tersentak kaget dan bingung. Sebagian girang karena berharap jadi kuli di perusahaan. Sebagian melamar menjadi subkontraktor. Namun kajian ilmiah bicara berlangsungnya pertambangan emas di Pulau Sangihe belum ada cara yang menjamin keberlangsungan sektor lain (perikanan, pertanian, pariwisata), artinya, tambang emas jalan maka good bye perikanan, pertanian dan pariwisata yang seluruhnya sedang didorong pengembangannya yang menjadi mata pencaharian utama masyarkat Sangihe. Kajian sosiologis-antropologis bicara etnis Sangihe akan menjadi mantan-orang-Sangihe, kajian hukum menuding adanya pelanggaran menambang oleh aturan hukum Pulau Kecil, dan pendapat masyarakat umum bicara berseliweran dengan kekuatiran. Ujungnya dibentuklah organisasi Save Sangihe Island (SSI) yang badan hukumnya diresmikan oleh Kementerian Hukum dan HAM dengan nama Selamatkan Sangihe Ikekendage).
Maka sebagai rakyat taat hukum, SSI menempuh langkah hukum menggugat Menteri ESDM di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan tuntutan pembatalan Izin Tambang PT TMS. Setelah melalui pergulatan keras dan panjang, tuntutan rakyat yang taat dan berdasarkan hukum tersebut dikabulkan oleh Putusan MA nomor 650 K/TUN/2022. “Men atakan batal dan tidak sah Keputusan Menteri ESDM RI nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang peningkatan tahap produksi Kontrak Karya PT. Tambang Mas Sangihe”, demikian salah satu amar putusannya.
Akan tetapi ketika sengketa pengadilan tersebut sedang berlangsung sengit, PT. TMS berulang kali memobilisasi alat-alat beratnya untuk didatangkan ke lokasi base camp operasinya di desa Bowone. Namun hal tersebut selalu saja gagal dihadang oleh reaksi masyarakat yang memang taat hukum, menolak tindakan PT TMS yang jelas-jelas melanggar Pasal 35 huruf k UU nomor il tahun 2014, apalagi sengketa hukum masih berlangsung di Pengadilan.
Di sisi lain, penambang ilegal (peti) diberi angin oleh PT TMS melalui janji akan diberikan wilayah seluas 10 hektar secara gratis. Mendapat angin segar tersebut, bangkitlah warga menambang kecil-kecilan termasuk orang-orang yang sudah pernah jadi napi penambang ilegal. Sebagaimana karakteristik aslinya peti, biaya galian lobang tambang dibiayai oleh cukong. Lalu tiba-tiba datanglah pengusaha-pengusaha yang senang dengan gelar 9 naga, dengan segala arogansi keningratan kebal hukum, seolah-olah hanya kelompok 9 naga di Negara Republik Indonesia yang dapat memainkan bahkan memperkosa hukum sesuai keperluan mengeruk cuan sebanyak-banyaknya.
Fenomena ini menjadi spiral, pertambangan ilegal yang harus dimaknai perbuatan melanggar hukum tersebut dilangsungkan di hadapan rakyat Sangihe yang selalu dituntut taat hukum. Ironisnya, terindikasi gerakan tersebut terkesan dilindungi bahkan diback up oleh APH. Terang terangan sekarang, mafia tambang beroperasi di Sangihe secara terang benderang. Singkatnya, hal tersebut merupakan pergelaran perbuatan melanggar atau melawan hukum di hadapan rakyat yang wajib taat hukum. Maka patut disimpulkan, fenomena ini tetah berkembang menjadi hukum rimba karena mengesampingkan hukum formal, adat istiadat, mendistorsi dengan vitamin “sorodo” pada kearifan lokal serta menyuntik mental-miskin pada kelompok pemimpi padahal merupakan penghisapan dari penjajahan kapitalisme kampung. Yang aneh, para aktor 9 naga tampak nyaman dan tenteram melakukan itu. Puluhan alat berat excavator beroperasi. Lahan-lahan pertanian diratakan. Limbah dibuang langsung ke laut.