Kerusakan Demokrasi melalui Kasus Thomas Lembong
Oleh: Dr Ferlansius Pangalila
Presiden Prabowo Subianto akhirnya meminta pertimbangan DPR untuk memberikan Abolisi kepada Thomas Lembong melalui Surat Presiden No. R43/Pres tanggal 30 Juli 2025. Abolisi dari Presiden ini menunjukkan secara jelas adanya *anomali yudikatif* dan *disfungsi legislatif*; bahwa hakim telah masuk terlalu jauh ke wilayah kebijakan karena DPR tidak berfungsi dengan baik sebelumnya.
Abolisi ini bisa dibaca sebagai hak konstitusional Presiden karena diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, bahwa Presiden berhak mengusulkan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Namun, Abolisi ini dapat pula dibaca sebagai intervensi politik dalam ranah yudisial, yang menandakan adanya masalah struktural dalam relasi tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Sistem demokrasi kita masih belum bekerja sebagaimana mestinya.
Kasus Thomas Lembong ini memang sebuah ironi demokrasi. Kebijakan publik yang diambil secara terbuka oleh seorang pejabat eksekutif justru dijadikan objek hukum pidana oleh pengadilan. Hal ini terjadi karena DPR, sebagai lembaga kontrol konstitusional, tidak pernah secara serius menguji, mempertanyakan, atau bahkan melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan atau Pansus terhadap Thomas Lembong saat ia menjabat Menteri Perdagangan terkait Permendag No. 117 Tahun 2015 tentang ketentuan impor gula. Tidak ada satu pun jejak digital yang menunjukkan DPR memanggilnya untuk menjelaskan kebijakan strategis tersebut. Bahkan ketika Kejaksaan Agung mulai menetapkan kebijakan itu sebagai bagian dari dugaan korupsi, DPR lebih memilih diam.
Lantas, kemana fungsi _checks and balances_ ketika eksekutif menerbitkan kebijakan yang mestinya dikontrol, bahkan dapat dikoreksi oleh DPR? Kegagalan fungsi kontrol DPR ini berdampak serius: dalam kasus ini, fungsinya diambil alih oleh lembaga yudikatif.
Konstitusi kita (Pasal 20A UUD 1945) telah memberikan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan kepada DPR. Dalam hal ini, Komisi VI dan XI DPR RI yang membidangi urusan perdagangan dan keuangan telah abai menjalankannya. Tidak ada satu pun rapat dengar pendapat resmi ataupun pansus yang melibatkan Thomas Lembong untuk membahas kebijakan ini, setidaknya untuk meminta klarifikasi dan mengkaji potensi penyimpangan atau konflik kepentingan.
Data digital hanya menunjukkan bahwa kebijakan impor gula ini sempat dibahas DPR bersama KPPU dan BPKN, namun hanya atas dasar data, regulasi, dan dampak harga, tanpa pernah menghadirkan Thomas Lembong sebagai subjek pembuat kebijakan. DPR baru menyoroti kasus ini melalui rapat kerja dengan Kejaksaan Agung pada November 2024 untuk membahas duduk perkaranya, setelah kebijakan tersebut diduga menjadi bagian dari korupsi. Ini menunjukkan kekuasaan eksekutif berjalan tanpa koreksi politik yang sehat.
Kekosongan fungsi kontrol DPR ini akhirnya diisi oleh lembaga yudikatif, mulai dari proses penyelidikan kejaksaan hingga vonis hakim pengadilan tipikor. Pengadilan seolah mengambil alih fungsi evaluatif atas kebijakan publik yang seharusnya menjadi domain politik DPR, dan bertindak sebagai pengganti parlemen dalam menilai diskresi eksekutif. Akibatnya, hakim tidak lagi murni mengadili kesalahan berdasarkan norma hukum pidana, melainkan terdorong untuk mengafirmasi atau menolak sebuah kebijakan. Yudikatif telah mengambil peran di luar batas konstitusionalnya, merusak prinsip _rule of law_ yang sebelumnya sudah dilemahkan oleh disfungsi legislatif itu sendiri.
Adanya Surat Presiden tentang abolisi ini justru telah menyeret Presiden (eksekutif) untuk mengoreksi keputusan yudisial. Surat ini sekaligus memperlihatkan lemahnya demokrasi prosedural kita: fungsi kontrol legislatif tidak berjalan dan yudikatif melangkah melampaui batasnya. Hal ini membuka mata kita, bahwa bukan hanya korupsi yang berbahaya bagi demokrasi, melainkan juga ketidakmampuan lembaga legislatif dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya.
Ketika DPR diam, hakim terpaksa turun tangan. Namun, saat hakim menilai kebijakan, maka politik berubah jadi pidana. Dan ketika Presiden akhirnya campur tangan lewat abolisi, maka semuanya telah menjadi satu pusaran tumpang tindih antara politik dan hukum, yang justru merusak fondasi demokrasi konstitusional itu sendiri.
Jakarta, 31 Juli 2025