Oleh:Dr. Ferlansius Pangalila, S.H., M.H.
Jakarta dan Surabaya bertambah tegang pada saat demonstrasi sedang berlangsung hingga malam 30 Agustus 2025. Fenomena tuntutan simbolik pembatalan tunjangan DPR hingga kerusuhan dan penjarahan. Gedung Grahadi terbakar, rumah dinas Wakil Gubernur Emil Dardak, serta kediaman anggota DPR Eko Patrio dan Ahmad Sahroni menjadi sasaran amuk massa dan bahkan penjarahan. Sementara rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani pun tidak terlewatkan. Tragedi kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tertabrak Brimob memperbesar pemicu berbagai aksi ini. Aksi protes terus menjalar dari Jakarta hingga ke daerah-daerah yang lain.
Gelombang protes Agustus 2025 bukan reaksi spontan semata. Demonstrasi yang terjadi saat ini bagai ledakan frustrasi kolektif yang menumpuk dari ketimpangan politik, hukum dan ekonomi yang semakin nyata di rasa oleh publik. Tunjangan tambahan bagi anggota DPR, kenaikan PBB di berbagai daerah, dan kegagalan pemerintah menanggulangi harga kebutuhan pokok serta kesenjangan sosial menjadi pemicu amarah publik. Sejak 25 Agustus, jalanan di berbagai kota bergemuruh dengan unjuk rasa yang kerap berubah menjadi bentrokan, perusakan, bahkan penjarahan rumah pejabat.
Unjuk rasa bukan sekadar soal izin resmi atau prosedur hukum; ia adalah denyut nadi demokrasi, barometer yang menandai kesehatan politik, sekaligus cermin dari legitimasi yang rapuh. Di setiap teriakan, langkah kaki di jalanan, dan benturan di titik-titik kerumunan, selalu muncul pertanyaan yang menghantui: apakah negara benar-benar hadir untuk melindungi hak-hak rakyat dan menjaga demokrasi, atau justru berubah menjadi mesin represi yang menekan? Sementara itu, rakyat seolah terjebak dalam dilema yang pahit, antara hak yang seharusnya mereka nikmati dan kekerasan yang, entah sadar atau tidak, lahir dari gelombang energi kolektif mereka sendiri.
Peran media sosial menjadi krusial. Video viral, potongan rekaman emosional, dan narasi cepat memperkuat solidaritas sekaligus memicu emosi yang sulit dikendalikan. Apa yang semula aksi simbolik kini diperkuat tekanan digital, membuktikan bahwa protes fisik dan protes virtual saling menguatkan dan menciptakan dinamika demokrasi modern yang kompleks, rawan, dan penuh paradoks. Platform digital menyebarkan video, narasi emosional, dan rumor tanpa filter, sehingga solidaritas meningkat, namun risiko disinformasi dan framing kekerasan juga membesar.
Ketegangan antara pemerintah dan publik semakin nyata. Langkah tegas Presiden Prabowo Subianto yang membatalkan kunjungan ke China dan memerintahkan aparat menindak perusuh dinilai oleh sebagian besar masyarakat sebagai upaya reaktif, bukan preventif. Mahasiswa, buruh, dan aktivis bahkan melihat dan menafsirkan ini sebagai simbol keterbatasan pemerintah menghadapi akar masalah sebenarnya, sebagaimana tergambar dalam seruan para demonstran terkait masalah struktural seperti oligarki politik, ketimpangan ekonomi, dan korupsi yang terus berlanjut.
Krisis ini diperparah oleh lemahnya mekanisme kontrol sosial formal, di mana prosedur hukum yang lambat atau tidak transparan menciptakan ruang kosong moral dan hukum yang kemudian diisi oleh Kratizen, yakni suatu kekuatan kolektif warga digital yang menilai siapa benar dan siapa salah bahkan sebelum hukum formal bertindak. Beroperasi di ruang media sosial tanpa prosedur hukum resmi. Kratizen menjadi hakim, juri, dan eksekutor opini publik, menentukan siapa layak dihukum hanya berdasarkan narasi viral, bukan fakta hukum yang terverifikasi.
Fenomena Kratizen menyingkap wajah baru kekuasaan warga digital: sebuah gelombang opini yang dalam hitungan jam mampu mengguncang kebijakan dan menembus kehidupan nyata. Setiap unggahan, video viral, atau komentar yang menggelegar di media sosial bagaikan percikan api yang menyulut amarah kolektif, menembus batas layar ponsel, merambah ruang publik, dan memaksa pejabat maupun institusi merespons sebelum fakta hukum sempat diverifikasi. Dalam hitungan jam, tekanan opini ini menembus dunia nyata: pejabat dihujani kecaman, individu terkena cancel culture, dan kebijakan publik dipaksa menyesuaikan diri, sementara hukum formal tertinggal jauh di belakang. Spontanitas, emosionalitas, dan kekuatan kolektif Kratizen menyingkap paradoks demokrasi digital: partisipasi publik yang seharusnya memberdayakan kini berpotensi berubah menjadi tirani kolektif, di mana viralitas menentukan keadilan lebih cepat daripada asas hukum dan prosedur resmi.
Di sisi lain, Suara publik melalui demonstrasi adalah merupakan keniscayaan Demokrasi, meski kadang realitasnya pahit, dalam banyak aksi unjuk rasa, suara itu sering berubah menjadi kekerasan, sementara aparat yang bertugas di lapangan mengalami dilema antara ketegasan dan represi yang sering berlebihan. Fenomena ini menyingkap paradoks demokrasi modern: suara publik yang sah sekaligus penuh risiko, di mana partisipasi kolektif dapat memicu perubahan tetapi juga mengundang kekacauan jika tidak diimbangi tata kelola dan etika yang jelas.
Kehadiran Kratizen menyingkap krisis moralitas hukum digital yang mendalam, tercermin dalam tiga dimensi: pertama, krisis legitimasi, di mana hukum formal lambat dan tak responsif terhadap tuntutan publik yang bergerak instan; kedua, krisis normatif, di mana norma hukum positif bertentangan dengan norma Kratizen, yakni tuntutan “justice now” mengabaikan asas praduga tak bersalah dan due process; ketiga, krisis epistemik, di mana kebenaran hukum berbasis bukti tergeser oleh narasi visual dan emosional yang viral.
Kasus penjarahan rumah publik figur seperti Uya Kuya, Eko Patrio, dan Nafa Urbach menjadi ilustrasi tragis: hukum baru bergerak setelah tekanan digital masif muncul, bukan secara preventif, menegaskan lemahnya kontrol institusi hukum terhadap moralitas publik di era Kratizen.
Kekuatan ini bergerak cepat, liar, dan tak terikat aturan, hadir tanpa tanggung jawab yang jelas; semakin besar pengaruhnya, semakin rapuh pula akuntabilitasnya. Dalam ritme digital yang berpacu dengan emosi publik, opini kolektif dapat berubah menjadi tekanan nyata. Mendesak kebijakan agar bergeser, memutar ulang persepsi, bahkan menghakimi individu. Hal ini menyingkap paradoks brutal demokrasi modern. Di era Kratizen, viralitas sering menentukan keadilan lebih cepat daripada asas hukum dan prosedur resmi.
Di sisi lain, Kratizen juga memperlihatkan sisi gelap demokrasi modern. Ia mampu mendorong perubahan positif, seperti mengawasi penyalahgunaan kekuasaan, tetapi berpotensi menjadi tirani kolektif yang dapat menghakimi individu sebelum proses hukum berjalan. Partisipasi digital menumbuhkan solidaritas, namun tanpa norma dan etika, ekspresi kolektif dapat berakhir pada kerusuhan, anarki, bahkan penindasan publik. Fenomena ini menjadi cermin dilema demokrasi: antara partisipasi yang membangun dan kekuasaan yang bergerak di luar prosedur resmi.
Fenomena Agustus 2025 bukan sekadar catatan sejarah; ia adalah panggilan bagi kita semua untuk merenung dan bertindak. Hukum formal harus tetap menjadi benteng keadilan, namun Kratizen menegaskan bahwa moralitas digital bergerak lebih cepat daripada prosedur resmi, menantang kita untuk tidak hanya menjadi saksi, tetapi peserta yang bijak. Warga negara harus kritis, menggunakan media sosial dengan kesadaran penuh, menuntut reformasi struktural tanpa menyalahi norma hukum, dan menolak tirani opini yang lahir dari viralitas semata.
Demokrasi yang sehat tidak lahir dari sorak-sorai massa digital tanpa kontrol, tetapi dari kritik yang cerdas, hukum yang teguh, dan Kratizen yang diarahkan oleh etika. Mari kita bersama menegakkan prinsip ini, menghentikan “No Viral, No Justice” sebelum menjadi norma, dan memastikan hukum kembali berdiri di atas fondasi prinsip, bukan popularitas semu. Jangan biarkan layar ponsel menjadi hakim terakhir; hukum harus tetap menjadi suara yang menentukan.