Oligarki Sebagai Ancaman Demokrasi

Ferlansius Pangalila.

Celakanya politik oligarki dapat memanfaatkan politik identitas. Dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan mempertahankan kekayaan, identitas sering dimanfaatkan dalam meningkatkan popularitas dan elektabilitas calon. Meskipun politik identitas juga sering dipakai oleh kelompok atau calon yang secara material tidak cukup kuat menghadapi kaum elit yang tergolong oligarki ini.

 

Dalam kekuasaan politik semakin banyak oligark yang berkuasa maka berbagai sumber daya yang ada akan dimanfatkan untuk kepentingan oligarki. Umumnya media dan sumber daya lainnya dikuasai oleh orang kaya atau oligarki yang memegang kekuasaan, atau setidaknya jika tidak menguasai media secara modal, oligarki masih dapat mengintimidasi dan bahkan mengintervensi media-media yang ada melalui perangkat hukum atau bahkan intimidasi sosial lewat ormas-ormas yang sengaja disokong oleh kaum oligarki ini. Tentu hal ini hanya cerita di masa orde baru, ketika Soeharto masih berkuasa dan menjadi diktator.

 

Apakah cerita ini sudah berakhir di masa orde baru? Saya melihat sama sekali belum berakhir. Jika di masa itu oligarki sering dilihat sebagai kekuasaan baik ekonomi dan politik karena unsur kedekatan dengan Cendana, maka di era sekarang, oligarki dilihat sebagai pemanfaatan berbagai sumber kekayaan dan politik identitas. Banyak elit memahami bahwa politik identitas cukup efektif dalam memperoleh kekuasaan politik dan mempertahankannya. Contoh PEMILU 2014 dan PEMILU 2019 serta PEMILUKADA di Jakarta waktu yang lalu. Bagaimana politik identitas dimainkan dan dimanfaatkan dalam memperoleh kekuasaan politik tersebut.

 

2022 akan segera berakhir artinya tahun 2023 yang merupakan tahun panas dalam pertarungan politik akan semakin terasa, sebab PEMILU 2024 akan digelar diawal tahun kemudian disusul dengan PEMILUKADA serentak di di banyak daerah. Tahun 2022 media telah memainkan peranan penting dalam menginformasikan berbagai bakal calon dan upaya-upayanya melalui survei-survei dan berbagai pencitraan lain. Lagipula beberapa tahapan PEMILU 2024 telah dimulai sejak pertengahan tahun 2022 ini.

 

Survei elektabilitas yang hanya merekam persepsi publik menjadi menarik karena tokh para kandidat ini masih didominasi oleh elit-elit politik tersebut, dan beberapa di antaranya terindikasi masih se identitas bukan hanya karena sesama ideologi partai politik melainkan juga se-marga atau setidaknya se-darah dan se-keluarga dengan penguasa atau mantan penguasa yang ada, disamping beberapa yang berupaya mempertahankan kekuasaan dan atau meningkatkan kekuasaan seperti dahulunya Bupati berupaya menjadi Gubernur, dan yang Gubernur berupaya menjadi Presiden dan yang dulunya Presiden berupaya menjadikan anaknya sebagai Presiden berikutnya. Ini tidak salah memang tapi  bagaimana soal moral politik demokrasi kita? Tentu masih diperdebatkan.

 

Mengapa hanya seputar ini kandidat kita atau apakah kita kekurangan kader baik di tingkat daerah untuk PEMILUKADA ataukah di tingkat pusat untuk PILPRES maupun PEMILU legislatif karena calonnya hanya itu-itu saja? Ataukah ini menjadi cerminan bahwa Demokrasi kita hanya melahirkan kelompok elit tertentu yang hanya berupaya memperoleh kekuasaan politik untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaan material/ekonomi kelompoknya?

Tidak bermaksud kasar sebenarnya bahwa elektabilitas yang diperoleh melalui berbagai survei yang ada terkesan hanya pencitraan yang tidak berbanding lurus dengan kualitas dan rekam jejak para kandidat tersebut. Di daerah mungkin kekurangan kandidat bupati atau gubernur yang secara kualitas baik dan memenuhi syarat yang layak untuk menjadi pelayan dalam jabatan politik yang semata-mata untuk kesejahteraan rakyat di daerah. Dan ditingkat pusat mungkin hanya elit-elit itu saja yang dianggap layak menjadi presiden untuk kesejahteraan umum.

 

Di daerah terasa betul soal oligarki ini, karena beberapa faktor seperti feodalisme, sentimen suku, agama, ras dan antar golongan menjadi pemicu utama faktor elektabilitas seseorang. Tetapi apa yang terjadi di masa orde baru, nepotisme dan bahkan faktor se-keluarga menjadi unsur penting dalam elektabilitas. Entah ini termasuk oligarki atau tidak, yang jelas bahwa fenomena Pejabat politik yang mencalonkan istri, anak, ipar dan bahkan mertua untuk mengisi jabatan-jabatan politik lainnya atau untuk menggantikannya menjadi kecenderungan politik di berbagai daerah. Hal ini tentu tidak salah sejauh memenuhi syarat pencalonan dan tentu tidak bertentangan dengan moral politik yang ada. Sekali lagi muncul pertanyaan apakah memang sudah tidak ada calon lain yang memiliki kualitas dan rekam jejak yang mumpuni yang dapat dicalonkan untuk mengikuti PEMILUKADA di daerah ini?

 

Penutup

Permasalahan oligarki, baik maksud dan berbagai pertanyaan yang muncul di atas menjadi tanggung jawab kita sebagai masyarakat yang memegang kedaulatan tertinggi dalam Demokrasi. Meskipun sumber informasi saat ini lebih banyak berasal dari media yang dikuasai oleh elit oligarki, namun masyarakat perlu memperoleh literasi politik yang baik dan benar. Literasi menjadi penting dalam konteks demokrasi agar tidak tertipu dengan berbagai pencitraan yang tidak sesuai dengan kualitas dan rekam jejak para kandidat yang semakin menjamur mendekati tahun-tahun politik ke depan.

 

Diharapkan masyarakat tidak terjebak pada pola-pola praktik politik transaksional yang lebih mengutamakan uang dan jabatan dengan mengorbankan esensi demokrasi yang sesungguhnya yakni demi meningkatnya kesejahteraan umum dan bukan meningkatnya kekayaan oligarki.

 

Penting sekali peranan dari partai Politik, media massa, organisasi kemasyarakatan, kaum intelektual dan dunia akademik, serta para tokoh agama untuk bertanggungjawab memberikan literasi politik yang baik dan benar bagi masyarakatnya. Meskipun ini tantangan terberat yang kita hadapi dikala politik identitas dan oligarki berperan besar dalam pencitraan para kandidat dengan berbagai strategi pemenangan yang masih dihiasi berita-berita hoax, black campaign yang terus menggerogoti proses demokrasi kita saat ini.

 

Kita bukan seekor unta dungu yang lebih gampang masuk surga daripada masuk kekuasaan politik. Kita perlu literasi politik sehingga dapat memilih pemimpin yang dapat membawa kedamaian surga di tengah dunia ini. Karena kita masih hidup dan memperjuangkan kehidupan saat ini menjadi makin baik dan damai bukan hanya kehidupan setelah kematian melainkan baik sebelum dan sesudah benar-benar mati kita benar-benar merasakan kedamaian.

Tomohon, 29 Oktober 2022

Komentar Facebook