Oleh:
Nadia Novernia Cristy Katuuk
Manado – Sulawesi Utara
Pemilihan umum (pemilu) adalah pilar utama dalam sistem demokrasi, di mana suara rakyat menjadi penentu legitimasi sebuah pemerintahan. Namun, di balik setiap suara yang dihitung, ada potensi manipulasi informasi yang dapat memengaruhi hasil pemilu, salah satunya melalui bahasa. Di sinilah peran linguistik forensik menjadi sangat penting. Sebagai cabang ilmu yang menganalisis penggunaan bahasa linguistik forensik mampu mendeteksi dan mengungkap manipulasi bahasa yang dapat merusak integritas demokrasi. Linguistik forensik adalah alat yang digunakan untuk memeriksa dan menganalisis pesan-pesan yang disampaikan dalam media, baik itu bentuk tulisan maupun lisan. Dalam konteks pemilu, bahasa dapat menjadi senjata untuk mempengaruhi opini publik, baik melalui kampanye politik, pidato, ataupun media sosial. Manipulasi bahasa, seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, atau framing yang menyesatkan, sering digunakan untuk mengaburkan kebenaran atau mempolarisasi masyarakat.
Bahasa dalam Pemilu melihat Ancaman Manipulasi
Dalam pemilu saat ini, media sosial memiliki peran yang sangat penting, dalam media sosial terdapat manipulasi bahasa yang telah menjadi ancaman yang signifikan terhadap integritas demokrasi. Bahasa, yang seharusnya menjadi sarana komunikasi yang jujur dan transparan, kini sering kali disalahgunakan untuk mempengaruhi opini publik, menyebarkan kebencian, dan bahkan merusak reputasi calon dalam pemilu. Dalam Pemilu di Indonesia, fenomena ini semakin terlihat jelas dengan maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di berbagai platform media sosial, seperti WhatsApp, Facebook, Twitter, dan TikTok.
Menurut laporan Kominfo pada 2024, lebih dari 1.000 konten berita bohong atau hoaks ditemukan tersebar selama masa kampanye Pemilu 2024. Hoaks ini tidak hanya berisi informasi palsu, tetapi juga sering kali mengandung unsur fitnah, penipuan, atau penghinaan terhadap calon tertentu, baik itu calon presiden, calon legislatif, dan calon kepala daerah maupun pihak-pihak terkait lainnya. Keberadaan konten semacam ini tidak hanya merusak citra calon yang diserang, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Bahasa yang digunakan dalam hoaks dan konten manipulatif ini sering kali dirancang dengan cermat untuk membangkitkan emosi tertentu, seperti ketakutan, kebencian, atau kemarahan. Teknik seperti “framing” cara membingkai isu dengan cara tertentu sering digunakan untuk memanipulasi persepsi pemilih. Misalnya, dengan memilih kata-kata yang menggambarkan lawan politik secara negatif, seperti “koruptor,” “penipu,” atau “ancaman bagi negara,” pesan tersebut tidak hanya menyebarkan informasi yang tidak benar, tetapi juga menciptakan kesan bahwa lawan politik adalah musuh yang berbahaya. Framing semacam ini memanfaatkan kecenderungan psikologis manusia untuk lebih mudah terpengaruh oleh informasi yang bersifat emosional atau sensasional, dibandingkan dengan informasi yang rasional dan faktual.
Dengan semakin canggihnya teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi secara cepat dan masif, tantangan dalam menjaga integritas bahasa dalam pemilu semakin besar. Manipulasi bahasa melalui teks, gambar, video, dan meme yang menyebar di media sosial menjadi salah satu taktik yang paling banyak digunakan dalam kampanye negatif. Oleh karena itu, penting bagi setiap pemilih untuk memiliki kesadaran kritis terhadap informasi yang mereka terima, serta untuk lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi yang belum terverifikasi kebenarannya.
Peran Linguistik Forensik dalam Menangkal Manipulasi Bahasa
Linguistik forensik memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan ini. Dengan menganalisis teks dan bahasa yang digunakan dalam pesan politik, ahli linguistik dapat mengidentifikasi pola bahasa yang mencurigakan, seperti penggunaan kata-kata yang merendahkan, menyebarkan kebencian, atau bahkan memanipulasi fakta. Sebagai contoh, dalam menganalisis pidato politik, ahli linguistik bisa mengidentifikasi teknik framing cara penyusunan pesan yang mengarahkan penerima pesan untuk melihat suatu isu dari perspektif tertentu, misalnya dengan memilih kata-kata yang menciptakan kesan negatif terhadap lawan politik.
Selain itu, analisis linguistik forensik juga dapat membantu dalam mendeteksi deepfakes dan video manipulatif yang semakin sering digunakan dalam kampanye politik. Sebuah studi yang dilakukan oleh The MIT Media Lab pada 2020, menemukan bahwa video deepfake yang dimodifikasi menggunakan teknik pengeditan suara dan gambar dapat menipu audiens yang tidak terlatih untuk meyakini bahwa mereka sedang melihat dan mendengar kandidat politik berbicara, padahal itu adalah hasil manipulasi. Analisis bahasa dalam video tersebut termasuk cara berbicara dan pemilihan kata dapat membantu mendeteksi apakah video tersebut asli atau sudah dimanipulasi. Dengan semakin berkembangnya teknologi dan penggunaan media sosial dalam kampanye politik, kebutuhan akan ahli linguistik forensik di Indonesia dan di seluruh dunia semakin mendesak. Oleh karena itu Linguistik forensik bukan hanya sekadar alat yang digunakan dalam dunia hukum, tetapi juga menjadi kunci dalam menjaga integritas proses pemilu. Dengan kemampuan untuk menganalisis bahasa dalam berbagai bentuk, mulai dari teks tertulis hingga pidato politik dan video digital, linguistik forensik dapat membantu mengidentifikasi dan menangkal manipulasi bahasa yang dapat merusak demokrasi.
Penulis adalah lulusan Sarjana sastra yang melanjutkan pendidikan di pascasrjana Universitas Sam Ratulangi dengan Program Studi S2 Ilmu Linguistik.