Manado,DetikManado.com – Memaknai momentum Hari Cegah Bunuh Diri Sedunia yang jatuh tiap tanggal 10 September, Komunitas Cegah Bunuh Diri (KCBD) lakukan diskusi Rumah Kopi K8, Kota Manado, Selasa (10/9/2024).
Ngopi sore bersama KCBD dalam rangka hari cegah bunuh diri sedunia, yang bertajuk “Ubah Narasi tentang Bunuh Diri”, mengundang sejumlah pihak diantaranya, Dinkes Provinsi Sulut, dr Liny Liando SPKJ, Piet Pusung, perwakilan Satu Tampa, AJI, FJPI, dan Shuffle and Strides.
Founder KCBD, Hanna Monareh MPsi Psikolog membeberkan, berdasarkan data World Health Organization (WHO) menyatakan depresi berada pada urutan ke empat penyakit di dunia.
Di tahun 2019, sekitar 800 orang meninggal per tahunnya, dan didominasi oleh usia lebih muda. Khususnya di Asia Tenggara, kasus bunuh diri tertinggi berada di Thailand, dengan jumlah kasus 12,9 persen dari jumlah penduduk.
“Disusul Singapura 7,9 persen, Vietnam dan Malaysia, serta Indonesia dan Filipina sebanyak 3,7 persen,” ujar Hanna.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, angka kasus bunuh diri di Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 670 kematian. Didominasi oleh usia yang lebih tua.
“Sebenarnya ini merupakan isu sensitif, tetapi jangan sampai kita hanya merasa simpati saja, tetapi mari kita bergerak merasakan empati. Empati dengan melakukan hal yang positif, yaitu bagaimana kita bisa mencegah daripada mengobati,” ujar dr Hanna, yang juga merupakan Ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia Wilayah Sulut ini.
Peringatan hari cegah bunuh diri sedunia 2024 di Manado, memberikan perubahan dari narasi tentang kasus tersebut.
“Hal ini untuk mematahkan stigma masyarakat, bahwa kasus bunuh diri bukan bahan percobaan, pamer atau lifestyle,” jelasnya.
Kasus bunuh diri merupakan isu kesehatan mental. Dimana individu dapat melakukan tindakan di luar kesadaran. Merasakan suatu kondisi ketidakpedulian dari siapapun.
“Tetapi ada suatu kondisi psikologis, suatu kondisi mental, dimana mereka nantinya memutuskan untuk mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup. Bukan juga berarti mereka, yang maaf tidak rajin berdoa dan lain-lain,” ucap Hanna.
Dia menjelaskan KCBD melalui tagline yaitu “Kamu tidak Sendiri, Kamu Berharga”, mengingatkan kembali kepada masyarakat bahwa orang yang mempunyai pemikiran untuk mengakhiri hidup dipengaruhi kondisi psikis yang kompleks.
Menurutnya, seseorang yang melakukan upaya tindakan bunuh diri dipengaruhi berbagai faktor. Misalnya keluarga, ekonomi, pergaulan, beban pekerjaan, sosial masyarakat, dan yang paling penting adalah faktor diri individu itu sendiri.
Dia mengajak kepada individu ketika mengalami kondisi permasalahan mental agar memberanikan diri untuk mencari orang yang dipercaya untuk berbagi cerita.
Selanjutnya mengunjungi tenaga profesional untuk membantu melewati proses pemulihan kesehatan mental.
“Dan yang penting “Learn to Love Yourself (Belajar Mencintai Diri Kamu)”, karena yang paling tahu tentang diri kamu adalah diri kamu sendiri,” ajaknya.
Kepala Seksi Pencegahan Pengendalian Penyakit (P2P) Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa Dinkes Provinsi Sulut, Felicia Kalesaran mengungkapkan, masih mempunyai keterbatasan dari jumlah psikiater dan tenaga medis.
“Jumlah psikiater belum sampai 20 orang, untuk jumlah penduduk 2,5 juta, sedikit sekali. Kemudian psikolog klinis juga terbatas, perawat dengan spesialis kesehatan jiwa juga masih terbatas,” ungkap Kalesaran.
Namun di tengah keterbatasan itu, jelas Kalesaran, di tahun 2023, Sulut terutama Kota Manado, ditunjuk menjadi lokasi piloting project terkait pelayanan pengembangan Deinstitusionalisasi.
“Deinstitusionalisasi adalah proses kompleks di mana pengurangan tempat tidur di rumah sakit jiwa. Dengan layanan kesehatan mental komunitas yang tidak terlalu terisolasi bagi mereka yang didiagnosis dengan gangguan mental atau disabilitas perkembangan,” jelasnya.
Layanan kesehatan jiwa, yang tadinya fokus hanya di rumah sakit jiwa. Baik stres, sampai yang benar-benar skizofrenia dikirim ke rumah sakit.
” Akan tetapi dikarenakan perubahan dan kebutuhan masyarakat, tidak akan menyelesaikan isu kesehatan jiwa tersebut jika masih menerapkan metode yang lama,” tutur Kalesaran.
Dia mengatakan secara global, dunia saat ini tidak lagi menghadapi penyakit menular maupun tidak menular, melainkan issue mental health.
Kasus kematian dan kesakitan akibat penyakit tidak menular dan mental health, lebih besar dibandingkan dengan kematian dan kesakitan pada ibu dan anak.
“Dulu kami bilang, angka kematian ibu dan anak paling besar, kemudian berubah menjadi penyakit menular.
Seiring perubahan waktu sudah ada obat, sudah ada vaksin, penyakit menular sudah bisa tertangani, HIV AIDS saja saat ini sudah bisa minum anti virus.
“Tetapi masalah mental health ini kalau satu sudah terjadi, kemudian tidak ditangani dengan baik, tidak selesai. Dampaknya itu sangat luar biasa untuk masa depan individu itu,” sambungnya.
Ternyata untuk mengatasi masalah kesehatan mental di masyarakat harus menyasar semua kalangan usia, bahkan sejak ibu hamil sampai melahirkan.