“Layanan kesehatan di Kementerian Kesehatan RI, bertransformasi melakukan pendekatan siklus hidup. Ini menjadi babak baru bagi psikolog, sekaligus pekerjaan rumah tenaga teknis psikologis untuk terlibat aktif mengurangi kasus bunuh diri di masyarakat,” ucapnya.
Pendekatan siklus hidup yang dimulai dari ibu hamil dilakukan sejak kali pertama datang ke pusat layanan kesehatan masyarakat atau puskesmas. Hal ini penting untuk dilakukan skrining, sebab tidak semua ibu yang mengalami kehamilan siap mempunyai keturunan.
“Ada rata-rata masih di bawah umur sudah hamil. Ada yang dewasa, kemudian menikah tetapi baru siap menikah, belum siap hamil,” terang Kalesaran.
Kalesaran bilang, perempuan sesudah melahirkan cenderung mengalami depresi, yang dinamakan postpartum. Postpartum merupakan penyakit mental yang sangat serius yang dapat mempengaruhi ibu baru.
“Penyakit ini dapat terjadi dengan cepat, biasanya dalam tiga bulan pertama setelah melahirkan. Perempuan dapat kehilangan kontak dengan kenyataan, mengalami halusinasi pendengaran, dan delusi,” tambahnya.
Postpartum dapat berdampak serius bagi tumbuh kembang sang anak. Perempuan yang sudah terkena depresi ini mengalami kondisi tidak akan mampu mengurusnya, atau paling buruk anak tersebut menjadi korban kekerasan.
“Misalnya ibu melukai anaknya, ada kasus anak dibuang. Itu mungkin saja mereka dalam kondisi depresi sehingga melakukan itu,” bilang Kalesaran.
Pendekatan siklus hidup selanjutnya dilakukan pada balita di atas usia satu tahun melalui skrining. Kemudian pada siswa baik sekolah dasar sampai sekolah menengah.
Terkadang adanya mis persepsi dari tenaga pendidik yang tidak dibekali pengetahuan terkait isu kesehatan mental. Mereka salah mengartikan saat melihat siswa itu nakal dan langsung diberi hukuman.
“Padahal mungkin siswa itu merupakan anak berkebutuhan khusus. Nah, masih banyak orang yang mengetahui bahwa anak yang berkebutuhan khusus itu adalah autis, padahal tidak,” tambah Kalesaran.
Kalesaran membeberkan, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan kondisi yang membuat anak mengalami gangguan psikiatrik, yang ditunjukkan dengan gangguan memfokuskan perhatian secara berlebihan dan hiperaktivitas.
“Pendekatan siklus hidup selanjutnya adalah di masa remaja yang dipersiapkan menjadi dewasa sampai lanjut usia (lansia),” kata Kalesaran.
Di tahun 2018, Dinas Kesehatan Provinsi Sulut memfokuskan issue mental health hanya pada usia dewasa. Mereka memetakan kondisi kesehatan mental berdasarkan kluster. Misalnya anak, remaja, dewasa, dan lansia. Padahal saat ini, isu kesehatan mental dapat memapar semua kalangan individu tanpa memandang usia.
“Olehnya di Indonesia perlu ada permodelan untuk menerapkan layanan deinstitusionalisasi. Pendekatan layanan spesialistik atau layanan komprehensif mental health tidak hanya diberlakukan di rumah sakit jiwa, tetapi dari akar rumput atau bersentuhan langsung dengan kondisi sosial masyarakat, misalnya Puskesmas,” terangnya.
Khusus Kota Manado, yang memilki 16 puskesmas tidak ditunjang oleh dokter dan perawat yang memiliki orientasi basic keilmuwan di psikologis klinis.
“Tapi di setiap puskesmas di Kota Manado telah mempunyai dokter dan perawat pengelola kesehatan jiwa yang sudah dilatih,” lanjutnya.
Dokter dan perawat itu dilatih untuk memulai menginisiasi layanan deinstitusionalisasi dari tahun 2023. Mereka dibekali untuk mulai aktif mencari individu yang kemungkinan berpotensi mengalami masalah kesehatan mental.
Para perawat tidak hanya menunggu pasien di puskesmas dengan keluhan stres. Yang biasanya datang dengan keluhan maag, kemudian diberikan obat, selanjutnya minggu berikutnya datang kembali dengan keluhan yang sama. Padahal saat dilakukan pengecekan, ternyata pasien tersebut mengalami masalah kesehatan mental.
Kalesaran juga bilang jika di tingkatan masyarakat, sejak Januari 2024, seluruh camat dan ketua lingkungan sudah dibekali pelatihan kesehatan jiwa. Tiap bulannya mereka dilakukan evaluasi.
“Minimal harus tahu bagaimana mengenali warganya ada kecenderungan untuk gangguan mental emosional, terutama gangguan cemas, depresi, dan skizofrenia,” ujar Kalaseran.
Pihaknya berupaya sebisa mungkin supaya piloting ini berjalan bagus dan sukses. Agar bisa direplikasi di seluruh kabupaten/kota, bukan hanya di Sulut, tetapi se Indonesia.
“Kebanggan tersendiri bagi Kota Manado yang dipilih sebagai pemodelan untuk kemaslahatan banyak orang di masa depan nanti. Yang akan merasakan dampak ini nanti adalah generasi selanjutnya,” ucapnya.
Akan tetapi, Dinkes Provinsi Sulut masih memiliki keterbatasan terkait pengumpulan data kasus bunuh diri. Dia pun meminta agar pihak berwenang tetap terbuka mempublikasi kasus tersebut.
“Semoga kasus-kasus percobaan bunuh diri bisa lebih transparan dipublikasi, baik oleh pihak berwajib atau instansi terkait lainnya. Karena data tersebut sebenarnya penting untuk menggambarkan kondisi mental health yang ada di Sulut. Agar penanganan ini lebih masif, tidak hanya dilakukan oleh komunitas kecil,” kuncinya.(ml)