Tondano, DetikManado.com – Selain Ivan Kaunang pakar sejarah Unsrat yang mengulas buku Perang Tondano, Valentino Lumowa pakar Filsafat Universitas Katolik (Unika) De La Salle Manado ikut ambil bagian.
Dengan mengomentari buku Perang Tondano, Lumowa mengemukakakn materinya Melacak Proses Membangsa: Telisik Filosofis Terhadap Buku Perang Tondano.
Lumowa mengatakan, sejarah adalah ketidakmungkinan jika kita menolak harkat yang paling hakiki dari seorang manusia yakni untuk dicipta. “Ketika kita menolak untuk dicipta, sejarah tidak punya makna,” katanya dalam kegiatan Bedah Buku Perang Tondano di Ruang Rapat Kantor Bupati Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut), Senin (30/12/2019) yang digelar Perkumpulan Alumni SMANTO 170.1 Tondano.
Materi yang dipaparkan Lumowa dengan sub topik Buku Dalam Rekonstruksi yang berpusat pada makalah Johan F Mambu (1932-2003) yang berjudul Jalannya Perang Tondano. Diawali manuskrip Carlo B Tewu (sambutan pemrakarsa), Stefi Rengkuan, Bodewyn OG Talumewo, Ivan R Pelealu dan Sandra Nangoy. Setelah manuskrip, Benni E Matindas, Audy WMR Wuisang dan Pendeta Danny R Weku. Manuskrip atau tulisan tersebut terdiri dari 10 bagian.
Lumowa mengawali ulasannya dengan mengatakan, sambutan penerbitan dari Tewu merupakan tesis pilihan untuk mendesak permenungan historis. Misi rendah hati Mambu sekedar melengkapi data yang belum muncul dari penulis-penulis kisah Perang Tondano sebelumnya. Diangkat ke tataran transendetal menuju studi kritis tentang kemanusiaan dan kemasyarakatan kaum Minahasa.
“Tewu memulai dengan kalimat Tempus fugit yang artinya waktu berlalu. Waktu tidak pernah berjalan, tapi waktu berlari. Tapi apa bedanya jalan dan lari, walau sama-sama berproses? Ketika kita menutup mata, kita tidak mencatat sejarah, kita tertinggal oleh roda perputaran historis. Dan usaha untuk ke depan adalah usaha yang akan disebut anakronisme,” katanya.
Selanjutnya Historia vitae magistra est oleh Rengkuan dipilih sebagai adagium pengantar eksposisi. Sejarah tidak bisa direduksi pada memori, rekonstruksi, deskripsi objektif dan hakiki dalam proses hermeneutika demi transformasi. Dinamika Perang dan Damai Rakyat Minahasa merupakan tulisan Rengkuan di halaman 15.
“Historia vitae magistra est. Maksudnya sejarah adalah guru kehidupan. Guru kehidupan jika seandainya kita memberikan makna pada sejarah. Jika sejarah berhenti dengan data, fakta dan pemaknaan hermenutik, maka selesailah sejarah itu. Buku perlu dibedah untuk diberikan nafas kehidupan,” beber Lumowa.
Lumowa menuturkan, pujaan dan pujian kepada orang-orang Minahasa terdahulu bertindak berdasarkan rasionalitas. Topik yang ditulisakan Talumewo adalah Puncak Kebencian Rakyat Minahasa Terhadap Belanda. Menurut Lumowa, untuk itulah Talumewo merupakan orang yang menulis tentang refleksi mental orang Minahasa.
”Memulai dengan pancang sentimentalisme terindentifikasi dalam tulisannya. Karena narasi tentang Perang Tondano, Talumewo pancang dengan satu kata yang sangat sentimental yaitu kebencian. Tapi saya mencoba membuat deskripsi awal. Dan saya pikir Bodewyn mau mengungkapkan nasionalisme yang membara, sehingga kata yang dipilih adalah kata yang membakar,” imbuhnya.