Oleh: Ambrosius M. Loho (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado – Pegiat Filsafat)
Situasi media sosial saat ini, amat mencengangkan. Perkembangannya amat signifikan dan signifikansi ini tentu menunjukkan kemajuan. Fakta lain yang tidak bisa kita elakkan adalah dominannya media sosial dalam masyarakat yang atas cara tertentu, membawa perubahan dalam budaya. Praktisnya bisa kita lihat, bahwa kejadian apapun di se-antero dunia, dalam hitungan menit, sudah bisa kita ketahui. Walaupun sering kali keakuratanya, tidak serta merta mengandung kebenaran yang akurat pula. Perbincangan tentang media sosial, seakan tidak lekang oleh waktu, mengingat pengaruh media sosial, semakin tak terbendung bahkan dipandang menjadi ‘primadona’ semua orang. Media sosial bagaikan air yang selalu dibutuhkan manusia, bahkan seakan menjadi ‘nafas’ kehidupan setiap manusia. Di mana pun dan kapan pun, semua membutuhkan aktif menggunakan media sosial.
Dari fakta ini, tak mengapa penulis menamakan ‘dunia saat ini’, sebagai dunia postmodern, dengan tanpa maksud memutlakkannya. Dikatakan demikian, karena saat ini, dunia dan perkembangannya, menampilkan yang serba ‘melampaui’ hal-hal yang modern. Apa yang tampil di hadapan kita, didominasi oleh kecanggihan teknologi antara lain media sosial sekelas instagram-facebook. Media sosial sepertinya dianggap sebagai sarana ‘eksistensi diri’, dan karena hal itu, manusia yang tidak memiliki akun media sosial, sering dipandang tidak eksis, bahkan dikesankan ‘ketinggalan zaman’.
Kendati demikian, bagaimana pun perkembangannya, toh efek positif dari media sosial [seyogyanya] tidak bisa kita tolak. Maka setidak-tidaknya, efek positif menujuk pada tuntutan untuk menyesuaikan diri, harus sesegera mungkin dipenuhi oleh setiap pelaku kebudayaan (manusia), supaya tidak ‘terasing’ dari dunia. Jadi, dengan kita mengikuti arus perkembangan serta terlibat didalamnya, turut menegaskan bahwa manusia (kita) saat ini berada dalam sistem yang jaring-menjaring satu sama lain. Dengan media sosial yang jaring menjaring itu, manusia mengalami ‘kehadiran’ di mana-mana dan antara satu dengan yang lainnya terhubung oleh media sosial itu.
Terkait hal tersebut, Jean Baudrilard pernah mengatakan bahwa dalam budaya jaringan, kehidupan akan diserap sepenuhnya oleh arus teknologi, dan dapat diduga bahwa kita akan teralienasi dari dunia kita. Maka dengan itu pula, pada akhirnya akan membawa manusia dan dunianya kepada “life without meaning” (hidup yang tanpa makna). Pandangan ini, setidak-tidaknya mengisyaratkan sebuah warning kepada kita bahwa jika kita tidak memperlakukan dengan sebaik dan seberguna mungkin media sosial tersebut, kita akan terasing dari dunia kita. (Sastrapratedja, 2016). Pendek kata, budaya yang jaring menjaring itu menunjukkan bahwa manusia berada pada situasi budaya yang baru, karena adanya teknologi baru, media sosial itu. Dengannya sangat mungkin manusia berada dalam situasi cemas dan tegang, karena dituntut untuk ‘sesegera mungkin’ menyesuaikan diri dengan dunia yang berkembang itu.
Maka dengan dua realitas ini (kemajuan media sosial dan tuntutan untuk menyesuaikan diri bagi manusia), apa yang paling memungkinkan bagi kita saat ini? Yang terpenting adalah kesadaran positif, bahwa media sosial justru seharusnya memersatukan kita dalam dunia jejaring. Selain itu media sosial juga harus dipandang sebagai sarana yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan positif kepada masyarakat. Sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan penyampai pesan, media sosial juga merupakan alat komunikasi sehingga dengannya, media sosial justru menjadi ‘pengantara dan sarana’ penghubung antar manusia.
Jadi, sisi penting media sosial menurut hemat penulis adalah: Pertama, sebagai sarana komunikasi yang cepat, melalui media sosial kita mengkomunikasikan perkembangan terbaru, yang bukan hanya tentang kebudayaan/peradaban tertentu, tapi juga segala macam hal yang terjadi di segala penjuru dunia. Kedua, media sosial sudah seharusnya dijadikan sebagai media pesan positif, yang mampu membuka cakrawala berpikir manusia, sehingga dari itu manusia terus berkembang ke arah kemajuan (progress) yang positif pula. Maka, perkembangan media sosial, yang seolah-olah terkesan menjerumuskan manusia pada efek negatifnya, justru harus dipandang sebagai sarana, atau katakanlah, penyampai pesan kebudayaan/peradaban yang positif dan tidak hanya sebatas sarana ‘ber-selfie atau ber-welfie’, dan tanpa maksud positif yang melebihi itu. Dengan sisi positif yang seperti ini, pada akhirnya media sosial dijadikan sarana yang mampu menyampaikan pesan, yang memproduksi dan menyebarkan perkembangan positif dalam segala sudut pandang.
Dengan demikian jelas bahwa media sosial menjadi produk kebudayaan yang sarat hal positif. Maka, marilah kita belajar dari apa yang penting dalam sebuah nilai. Nilai (yang positif), merupakan sesuatu yang dihayati sebagai baik, benar dan indah. Dengan dihayatinya nilai terpenting dari perkembangan kebudayaan, yang ditandai oleh perkembangan peran media sosial seperti teruraikan di atas, nilai itu harus menjadi keyakinan yang dihayati dan diyakini sebagai sesuatu berharga. (Sutrisno 2013: 154). Sejalan dengan apa yang pernah dikatakan DR. Valentino Lumowa, akademisi Unika De La Salle Manado, bahwa: Pertama, setiap hasil teknologi harus senantiasa disempurnakan demi pengembangan nilai kemanusiaan. Kedua, edukasi tentang hakekat kebebasan individu, terutama internet dengan segala kompleksitasnya, perlu senantiasa dikemukakan. Praktisnya, melalui itu, setiap individu harus mampu mempertanggungjawabkan setiap ekspresi kebebasannya. Dengan kedua poin penting ini, media sosial akan lebih berarti positif dan sungguh-sungguh membawa kemajuan bagi manusia dan peradabannya. (***)