Ada Komunitas Pondok Pesantren Waria di Pelatihan AJI Terkait Liputan HAM

Dhandy Dwi Laksono memandu peserta untuk memetakan akar masalah dari rasialisme dan pelanggaran HAM.

Yogyakarta,DetikManado.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Internews, dan Kedutaan Belanda menggelar pelatihan peliputan hak asasi manusia untuk penguatan kapasitas jurnalis di Yogyakarta, 6-8 September 2019.

Dalam siaran pers yang diterima redaksi DetikManado.com, Sabtu (07/09/2019), disebutkan bahwa pelatihan tersebut melibatkan narasumber dariKomisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara, kelompok minoritas yang mengalami kekerasan, dan tiga pelatih workshop dari AJI Indonesia.

Bacaan Lainnya

Tiga pelatih itu adalah pendiri Watchdoc Dandhy Dwi Laksono, Editor Tempo yang juga dari Divisi Gender, Anak, dan Kaum Marjinal AJI Indonesia Dian Yuliastuti dan Afnan Subagio, jurnalis RCTI-MNC. Ketua Bidang Pendidikan, Etik dan Profesi Dandy Koswaraputra memberikan sambutan pada hari pertama.

 Menurut Dandy, jurnalis punya peran besar agar kasus pelanggaran HAM mendapat perhatian serius oleh negara dan masyarakat. Penegakan hukum yang tegas diperlukan agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi. Harapannya jurnalis menghasilkanliputan-liputan yang mendorong penegakan HAM dan keadilan bagi korban. “Untuk menghasilkan liputan dengan perspektif HAM yang kuat, jurnalis membutuhkan bekal pengetahuan yang memadai untuk menghindari bias atau prasangka ketika menyusun berita,” kata Dandy.

Pengetahuan yang diperlukan mencakup pemahaman tentang aspek-aspek mendasar dari prinsip-prinsip HAM, hingga aspek teknis seperti teknik wawancara (untuk saat berbicara dengan para korban dan pelaku) dan keterampilan untuk menyusun laporan dengan perspektif yang sensitif terhadap penegakan HAM.

Para peserta dipandu trainer membahas sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi.

AJI Yogyakarta sebagai panitia lokal pelatihan mengundang kelompok minoritas yang mengisi acara tersebut, yakni dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu, Kabupaten Bantul, dan Pondok Pesantren Waria Yogyakarta. Mereka berbagi pengalaman tentang serangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM yang mereka terima.

Pada hari pertama pelatihan, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menjelaskan tentang sejarah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Duham) yang lahir paada 1948. Beberapa poin penting dari Duham, kata Beka di antaranya hak untuk tidak disiksa, hak hidup, kebebasan beragama. “Komnas HAM menolak hukuman mati. Hak hidup tak boleh dicabut,” kata Beka.

Dia juga menjelaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Yogyakarta. Kasus teranyar adalah larangan ibadah jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu. Bupati Bantul, Suharsono mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) gereja setelah ibadah gereja itu ditolak oleh masyarakat sekitar gereja. Dalam kasus penolakan gereja ini, Beka menyebut terjadi pelanggaran HAM oleh negara. Pemerintah dia nilai tidak mengakomodasi hak warga negara untuk menjalankan ibadah.

Pada hari kedua, para pelatih workshop mengajak jurnalis peserta pelatihan untuk menyusun akar masalah kasus pelanggaran HAM dengan menggambar pohon masalah. Dhandy Dwi Laksono memandu peserta untuk memetakan akar masalah dari rasialisme dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Peserta berdiskusi dan presentasi tentang akar masalah pelanggaran HAM di Papua.

Komentar Facebook

Pos terkait