Euforia Saweran: Krisis Nurani Publik dan Luka Sosial

Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd

Oleh: Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd

Alumnus STF Seminari Pineleng dan IAIN Manado

Bacaan Lainnya

 

Di tengah angka pengangguran yang naik, biaya hidup yang mencekik, dan berita tentang pemutusan hubungan kerja di berbagai sektor di Sulawesi Utara, muncul ironi yang mencolok: seorang DJ ibu kota, Nathalie Holscher, disawer ratusan juta rupiah dalam dua kali penampilan di Minahasa Utara dan Minahasa Tenggara. Video yang viral di media sosial memperlihatkan tumpahan uang di panggung, sorak sorai massa, dan kemegahan pesta. Tetapi di balik dentum musik dan sorotan lampu, mengintai pertanyaan yang menggigit nurani: apakah ini tanda kemakmuran atau sekadar pesta di atas ketimpangan? Apakah uang yang berhamburan itu lahir dari kerja produktif, atau justru dari hasil ekstraksi alam yang tak pernah benar-benar memberi kesejahteraan bagi rakyat sekitar?

Fenomena saweran bukan sekadar hiburan. Ia mencerminkan perubahan mendasar dalam budaya sosial kita: dari masyarakat yang dulu menilai kehormatan dari kerja keras dan solidaritas, kini bergeser menjadi masyarakat tontonan yang menilai keberhasilan dari seberapa banyak uang yang bisa dilempar ke udara. Dalam pandangan Pierre Bourdieu (1986), kapital ekonomi selalu mencari legitimasi sosial; uang harus dipertontonkan agar kekuasaan terlihat alami. Di panggung-panggung semacam itu, uang bukan lagi alat transaksi, melainkan bahasa kuasa. Saweran yang seolah-olah spontan justru menjadi bentuk ritual kapital baru—ajang penegasan status para pemilik modal, khususnya mereka yang diduga berasal dari industri tambang di Minut dan Mitra.

Di masa lalu, saweran adalah bentuk penghormatan sosial yang lahir dari spontanitas rakyat terhadap seni. Kini, ia menjadi simbol relasi vertikal antara mereka yang berkuasa dan mereka yang menonton. Inilah transformasi yang oleh Marcel Mauss (1925/2002) disebut sebagai “pergeseran dari gift economy ke dominasi simbolik”—pemberian tanpa niat timbal balik, melainkan untuk memperlihatkan siapa yang bisa memberi lebih banyak. Saweran yang dulu mempersatukan kini justru memperlebar jarak sosial.

Secara filosofis, ini mencerminkan krisis makna dalam masyarakat modern. Erich Fromm (1976) membedakan antara orientasi “to be” dan “to have”—hidup untuk menjadi versus hidup untuk memiliki. Manusia modern, tulisnya, semakin kehilangan makna eksistensi karena terjebak dalam hasrat untuk memiliki lebih banyak. Fenomena saweran ratusan juta adalah manifestasi ekstrem dari orientasi “memiliki”: uang dipertontonkan bukan untuk berbagi kebahagiaan, tetapi untuk menegaskan eksistensi sosial. Heidegger (1954) menyebutnya sebagai bentuk Verfallenheit, keterlemparan manusia ke dalam kealpaan terhadap “Ada”. Dalam euforia uang, manusia kehilangan arah ontologisnya; ia tak lagi menjadi subjek yang sadar, melainkan bagian dari arus benda yang ia ciptakan sendiri.

Etika publik seharusnya menjadi benteng yang menjaga peradaban dari degradasi nilai seperti ini. Namun fenomena saweran justru memperlihatkan absennya kesadaran moral di ruang publik. Immanuel Kant (1785/2012) mengingatkan bahwa tindakan bermoral hanya terjadi bila manusia memperlakukan manusia lain sebagai tujuan, bukan alat. Ketika uang dilempar ke panggung di hadapan massa, sementara sebagian besar masyarakat masih bergulat dengan kebutuhan dasar, maka uang itu bukan lagi alat berbagi kebahagiaan, tetapi instrumen untuk menundukkan kesadaran publik. Inilah yang disebut Zygmunt Bauman (1993) sebagai moral blindness—kebutaan moral yang muncul ketika manusia berhenti peduli terhadap penderitaan di sekelilingnya.

Masyarakat Sulawesi Utara tengah menghadapi paradoks antara geliat ekonomi ekstraktif dan realitas sosial yang timpang. Data BPS (2024) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka masih di atas 5%, dengan peningkatan ketimpangan di daerah tambang dan pesisir. Namun di tengah situasi itu, pesta uang di panggung seolah menegaskan bahwa sebagian kecil kelompok menikmati hasil bumi jauh lebih cepat daripada yang lain. Thomas Piketty (2014) mengingatkan bahwa ketimpangan ekonomi bukan hanya soal pendapatan, tapi juga persepsi keadilan. Ketika masyarakat melihat uang dilempar begitu saja, sementara harga beras naik dan pekerjaan sulit, mereka tak hanya merasa miskin, tetapi juga kehilangan rasa keadilan sosial.

Dari sudut pandang politik, fenomena ini tak bisa dipisahkan dari hubungan antara modal dan kekuasaan lokal. Vincent Mosco (2009) dalam teori ekonomi politik komunikasi menjelaskan bahwa ruang hiburan sering digunakan sebagai soft power untuk membentuk citra sosial. Para “bos tambang” yang tampil di depan publik sebagai penyumbang besar bukan hanya sedang menikmati hiburan; mereka sedang membangun legitimasi sosial dan politik. Dalam panggung musik, mereka memantapkan citra sebagai pelaku pembangunan, meski di lapangan aktivitas mereka mungkin menimbulkan kerusakan ekologis atau konflik lahan. James Scott (1972) menyebut fenomena semacam ini sebagai politik patron-klien, di mana relasi sosial ditentukan oleh siapa yang memberi dan siapa yang bergantung. Saweran menjadi bentuk patronase modern yang menukar uang dengan citra.

Sementara itu, sikap diam pemerintah daerah memperlihatkan bentuk clientelism baru, di mana negara tak lagi berjarak dari kepentingan modal. Ketika publik figur dan pejabat ikut hadir dan membiarkan pertunjukan kemewahan di tengah kemiskinan, mereka tidak netral; mereka menjadi bagian dari legitimasi simbolik kapital. Dalam konteks ini, budaya politik kita bukan lagi demokratis, melainkan oligarkis dalam bungkus euforia budaya.

Secara antropologis, saweran adalah bahasa sosial yang sarat makna. Dalam masyarakat agraris tradisional, tindakan memberi uang atau barang di panggung adalah bentuk partisipasi simbolik—tanda keterlibatan dalam sukacita bersama. Namun kini, sebagaimana dikritik Thorstein Veblen (1899), masyarakat modern menjadikan pemberian sebagai sarana pamer (conspicuous consumption). Saweran bukan lagi partisipasi, melainkan demonstrasi kekuasaan ekonomi. Di sinilah budaya egaliter Minahasa mulai kehilangan identitasnya. Semangat “mapalus”—gotong royong khas Minahasa—tergeser oleh logika “siapa kaya, dia raja.”

Dalam aspek ekonomi, ini adalah paradoks pertumbuhan. Sulawesi Utara menikmati pertumbuhan tinggi di sektor pertambangan, pariwisata, dan ekspor, tetapi tidak menghasilkan pemerataan. David Harvey (2005) menyebut ini sebagai wajah neoliberal: akumulasi kapital melalui disposesi. Kekayaan tambang mengalir ke segelintir elit, sementara masyarakat sekitar kehilangan tanah, lingkungan rusak, dan ekonomi lokal terpinggirkan. Ketika uang tambang masuk ke panggung hiburan, bukan ke sekolah, rumah sakit, atau koperasi rakyat, itu pertanda bahwa ekonomi kita telah kehilangan orientasi produktifnya.

Ironinya, uang yang “mengalir deras” di panggung itu justru mengering di sebagian besar dapur rakyat. Konsep trickle-down economics yang diyakini sebagian pengambil kebijakan gagal total: alih-alih menetes ke bawah, uang justru terbang ke udara dalam bentuk saweran. Masyarakat hanya menjadi penonton—secara literal dan struktural.

Dari perspektif yuridis, saweran mewah memang tidak secara eksplisit dilarang. Namun bila uang itu berasal dari hasil aktivitas tambang yang tidak dilaporkan atau belum dikenai pajak, maka terdapat potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Lebih jauh, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mewajibkan perusahaan tambang memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Menyumbang uang di panggung hiburan bukan bentuk CSR, melainkan bentuk corporate vanity—pamer sosial tanpa tanggung jawab struktural. Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik, sikap diam aparat atas tindakan yang berpotensi menimbulkan keresahan sosial adalah bentuk kelalaian etis terhadap prinsip keadilan sosial. Hukum memang tak bisa mengatur selera, tapi hukum publik seharusnya melindungi martabat sosial agar uang tak mengendalikan nilai.

Lebih dalam lagi, fenomena ini memperlihatkan krisis antropologis: manusia kehilangan kesadaran akan batas antara pesta dan kesedihan sosial. Koentjaraningrat (2009) menulis bahwa kebudayaan adalah sistem makna yang hidup karena keseimbangan antara nilai, norma, dan perilaku. Ketika norma sosial tak lagi menegur tindakan yang mencolok secara moral, masyarakat sedang menuju kekosongan makna. Mungkin inilah yang disebut Guy Debord (1967) sebagai the society of the spectacle—masyarakat yang menggantikan realitas dengan citra. Hiburan menjadi ideologi baru; ia menenangkan keresahan rakyat tanpa memberi solusi.

Panggung DJ Nathalie bukan sekadar tempat musik berdentum, melainkan simbol sosial dari apa yang terjadi di tingkat struktural: kekuasaan ekonomi sedang menulis narasi tentang siapa yang patut dikagumi, siapa yang harus diam, dan siapa yang pantas memerintah. Masyarakat dibuat sibuk bertepuk tangan agar tidak sempat bertanya: dari mana uang itu berasal, dan untuk siapa seharusnya digunakan? Dalam logika hiburan kapitalistik, pesta menjadi instrumen depolitisasi—rakyat diberi euforia agar tidak menyadari ketidakadilan yang melingkupi hidup mereka.

Sulawesi Utara, dengan identitas plural dan semangat gotong royongnya, seharusnya menjadi contoh keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan. Namun jika tren seperti ini terus berulang, kita akan menyaksikan lahirnya generasi yang lebih terpesona pada glamoritas sesaat ketimbang kesadaran sosial. Nilai-nilai egaliter yang dulu menjadi kebanggaan Minahasa perlahan terkikis oleh budaya “flexing” ala digital. Saweran kini bukan lagi ekspresi budaya lokal, melainkan bagian dari globalisasi nilai konsumtif yang menjadikan uang satu-satunya ukuran prestise.

Namun di tengah kenyataan suram itu, refleksi masih mungkin. John Rawls (1971) mengingatkan bahwa keadilan sosial hanya akan lahir jika kebijakan publik memperhatikan posisi yang paling lemah dalam masyarakat. Artinya, pemerintah dan masyarakat harus membalik logika saweran: uang besar seharusnya dilempar bukan ke panggung hiburan, tetapi ke panggung kemanusiaan—ke pendidikan, pelatihan kerja, dan pengentasan kemiskinan. Bila pesta uang di panggung bisa mengumpulkan ratusan juta dalam semalam, mengapa kita tidak mampu menggalang jumlah yang sama untuk beasiswa atau program sosial?


Pos terkait