Oleh Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd
Wasekjen Pelatihan dan Kaderisasi
Pengurus Pusat Pemuda Katolik, 2021-2024
Ada orang yang bekerja dengan jabatan, dan ada yang bekerja dengan jiwa. Joost Leopold Tambajong termasuk yang kedua. Empat puluh hari setelah kepergiannya, jejak pengabdiannya masih terasa dalam denyut kehidupan Gereja dan masyarakat Sulawesi Utara. Namanya tidak hanya dikenang karena jabatan tinggi yang pernah diemban, tetapi karena cara ia menjalani hidup: sederhana, bersahaja, dan penuh makna. Ia datang bukan untuk menonjolkan diri, melainkan untuk menghadirkan kasih. Ia tidak mengejar sorotan, tetapi meninggalkan cahaya.
Di tengah dunia birokrasi yang kerap dipenuhi hitungan angka dan target, Joost Tambajong menjadi bukti bahwa nurani masih punya tempat. Ia menghadirkan wajah kemanusiaan dalam kebijakan publik. Ia memimpin dengan hati dan berpikir dengan jernih. Di balik ketegasan seorang pejabat publik, ada kelembutan seorang sahabat dan kebapakan seorang pelayan. Ia menjadikan tugas pemerintahan bukan sekadar tanggung jawab administratif, melainkan medan pelayanan yang spiritual.
Dalam dirinya, iman dan profesi menemukan ruang rekonsiliasi. Ia tidak melihat keduanya sebagai dua dunia yang terpisah, melainkan dua sisi dari panggilan yang sama: menghadirkan kebaikan bagi sesama. Seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus, “Iman yang tidak menjiwai tindakan adalah iman yang mati.” Joost menghidupi pernyataan itu dalam keseharian: ia tidak hanya berdoa di gereja, tetapi juga di ruang kerja; tidak hanya melayani di altar, tetapi juga di meja rapat. Ia menjadikan setiap keputusan sebagai bentuk doa, setiap kebijakan sebagai wujud kasih, dan setiap kerja sama sebagai jalan menuju kebaikan bersama.
Bagi banyak orang, Joost adalah pribadi yang berimbang—antara rasionalitas birokrat dan kehangatan seorang pelayan. Dalam refleksi filosofis, ia menghidupi gagasan Aristoteles tentang phronesis—kebijaksanaan praktis. Ia tidak hanya tahu apa yang benar secara moral, tetapi juga bagaimana melakukannya dengan tepat dalam situasi konkret. Ia tidak terjebak dalam idealisme kaku, tetapi menyeimbangkan antara prinsip dan konteks. Keutamaan baginya bukan sekadar gagasan, melainkan kebiasaan yang dilatih melalui disiplin dan kesetiaan.
Filsuf Emmanuel Levinas pernah mengatakan bahwa etika dimulai dari wajah orang lain—dari kesadaran akan keberadaan sesama sebagai subjek yang menuntut tanggung jawab. Pandangan ini seolah menemukan maknanya dalam cara Joost berinteraksi. Ia tidak memandang orang lain sebagai “data”, melainkan sebagai pribadi. Dalam setiap pertemuan, ia memberi ruang bagi orang untuk didengar. Dalam setiap keputusan, ia mempertimbangkan dampaknya terhadap sesama. Ia sadar bahwa di balik setiap kebijakan, ada manusia dengan harapan dan luka. Karena itu, ia tidak pernah mengabaikan sisi kemanusiaan dari tanggung jawab birokrasi.
Sebagai birokrat senior di Sulawesi Utara—dari Kepala Dinas hingga Kepala Badan Aset Daerah—ia dikenal sebagai sosok profesional yang rendah hati. Ia berani mengambil keputusan, tetapi tidak otoriter; ia tegas pada prinsip, tetapi lembut terhadap orang. Dalam budaya organisasi yang sering kaku, ia menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Ia percaya, birokrasi tanpa cinta akan kehilangan arah. Ia bekerja bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi demi kesejahteraan banyak orang. Ia tidak pernah menganggap jabatan sebagai hak, tetapi sebagai tugas yang dipercayakan Tuhan.
Sebagai awam Katolik, peran Joost lebih dalam lagi. Ia menjadi jembatan antara Gereja dan dunia. Ia memahami bahwa Gereja tidak bisa hidup dalam menara gading, tetapi harus hadir di tengah masyarakat. Ia menghidupi semangat Lumen Gentium (Konsili Vatikan II, 1964), yang menegaskan bahwa kaum awam dipanggil untuk menguduskan dunia dari dalam dunia itu sendiri. Bagi Joost, panggilan awam bukanlah sekadar “membantu Gereja,” tetapi menjadi Gereja yang hidup di dunia: menghadirkan nilai-nilai Injil dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik.
Ia aktif sebagai Ketua Kaum Bapak Katolik Keuskupan Manado, Ketua Pemuda Katolik Komda Sulut, Ketua DPP Paroki Hati Kudus Yesus Karombasan, prodiakon, dan sahabat para imam. Namun yang membuatnya istimewa bukanlah banyaknya jabatan gerejawi, melainkan ketulusan pelayanannya. Ia tidak sekadar hadir di pertemuan, tetapi membawa ide, energi, dan solusi. Ia membantu Gereja dengan caranya sendiri: dengan manajemen yang rapi, jaringan yang luas, dan hati yang tulus. Ia tahu, iman harus disertai kompetensi; dan pelayanan harus disertai keahlian.
Dalam spiritualitas Katolik, hidupnya menjadi perwujudan Injil. Ia menghidupi sabda Yesus: “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat 20:28). Ia melayani dengan tenang, tanpa banyak bicara. Ia memberi tanpa menuntut, membantu tanpa pamrih. Dalam dirinya, pelayanan bukanlah tugas tambahan, tetapi napas hidup. Ia menjadi simbol caritas in action—kasih yang bergerak. Ia tahu, kasih sejati tidak berhenti pada emosi, tetapi diwujudkan dalam tindakan konkret.
Dari perspektif teologis, Joost adalah contoh nyata dari iman yang berbuah dalam kerja. Ia tidak menjadikan iman sebagai pelarian, tetapi sebagai sumber energi untuk bekerja lebih baik. Ia memahami iman bukan sebagai teori, tetapi sebagai relasi hidup dengan Allah yang hadir dalam sesama. Ia menyadari, setiap relasi sosial adalah ruang perjumpaan dengan Allah. Dalam setiap interaksi dengan orang kecil, ia menemukan wajah Kristus yang lemah lembut. Dalam setiap keputusan yang melibatkan orang banyak, ia mencari kehendak Allah yang memuliakan kehidupan.
Kekristenan sejati baginya bukanlah soal banyak bicara tentang Tuhan, tetapi berbuat seperti Tuhan. Ia percaya bahwa iman yang matang adalah iman yang menjelma dalam cinta. Itulah sebabnya ia tidak membedakan orang berdasarkan latar belakang agama, jabatan, atau status sosial. Ia menjalin persahabatan lintas batas, membangun relasi yang menyatukan. Ia menghadirkan wajah Gereja yang terbuka dan dialogis—sebuah Gereja yang menjadi sahabat bagi semua orang.
Joost hidup dalam kesadaran spiritual yang mendalam. Ia melihat dunia sebagai ladang misi, bukan ancaman. Ia tidak menentang dunia, melainkan menguduskan dunia dengan pekerjaannya. Ia menghidupi semangat ora et labora—berdoa dan bekerja. Doanya tidak selalu terucap, tetapi hadir dalam ketekunan, dalam kesetiaan terhadap tanggung jawab kecil, dalam cara ia memperlakukan orang dengan hormat. Dalam dirinya, kerja menjadi bentuk doa yang paling indah.
Secara sosial, Joost adalah penggerak kolaborasi. Ia tahu bahwa kemajuan umat tidak bisa lahir dari Gereja saja, tetapi dari sinergi antara Gereja, pemerintah, dan masyarakat. Ia memainkan peran penting dalam membangun komunikasi yang sehat antara rohaniwan dan pejabat publik, antara paroki dan pemerintah daerah. Ia mampu menjembatani dua dunia yang sering berjarak. Ia menghidupi prinsip Gereja Katolik dalam Compendium of the Social Doctrine of the Church (2004), bahwa iman harus menjiwai kebijakan sosial dan politik, bukan menjauh darinya.
Dalam banyak forum, ia dikenal sebagai tokoh yang mampu menyejukkan suasana. Ia tidak memihak pada kepentingan tertentu, tetapi selalu berpihak pada kebaikan. Ia menjadi mediator yang adil dan sahabat yang dapat dipercaya. Ketika terjadi perbedaan pandangan di antara kelompok masyarakat, ia memilih jalan dialog. Ia percaya bahwa persaudaraan lebih kuat daripada perpecahan. Ia tahu, keutuhan sosial hanya dapat dijaga dengan kerendahan hati untuk mendengar.
Bagi masyarakat Sulawesi Utara, Joost adalah figur publik yang tidak kehilangan akar budaya. Ia lahir dan dibesarkan dalam tradisi Minahasa yang menjunjung tinggi nilai mapalus—semangat gotong royong, solidaritas, dan kebersamaan. Nilai-nilai ini ia bawa ke dalam dunia kerja dan pelayanan iman. Ia mengajarkan bahwa budaya dan agama bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dua kekuatan yang saling memperkaya. Dalam antropologi budaya, sosok seperti Joost disebut cultural mediator: seseorang yang mampu menjembatani nilai-nilai lokal dan nilai-nilai universal Gereja.
Dalam terang antropologi iman, hidup Joost menunjukkan bahwa setiap manusia dipanggil untuk menjadi saksi kasih di tengah dunia. Ia menyadari, setiap budaya mengandung benih ilahi (semina Verbi) yang dapat menjadi jalan menuju Allah. Ia menghidupi semangat inkulturasi—menghadirkan Kristus dalam wajah budaya lokal. Karena itu, cara ia melayani bukan dengan menggurui, tetapi dengan merangkul. Ia lebih suka menjadi teman dialog daripada penguasa. Ia hadir dengan kehangatan yang membumi, tetapi dengan visi yang transenden.
Kehadirannya dalam Gereja Manado meninggalkan warisan yang kuat. Ia menjadi teladan bagi awam Katolik tentang bagaimana hidup beriman di tengah dunia yang kompleks. Ia menegaskan bahwa panggilan awam bukanlah sekadar membantu imam, tetapi mewartakan Kristus di tempat kerja, dalam masyarakat, dan di ruang publik. Ia mengajarkan bahwa setiap profesi dapat menjadi altar pelayanan bila dijalankan dengan integritas.
Kepergian Joost meninggalkan kekosongan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran baru: bahwa Gereja memerlukan lebih banyak awam seperti dia—orang-orang yang tidak hanya beriman, tetapi juga berkompeten; yang tidak hanya berdoa, tetapi juga bekerja dengan kasih. Dalam banyak hal, ia adalah wajah Gereja yang sedang diimpikan oleh Konsili Vatikan II: Gereja yang hadir, dialogis, dan solider.
Empat puluh hari setelah kepergiannya, kita diajak bukan hanya mengenang, tetapi melanjutkan. Waktu 40 hari dalam tradisi biblis bukan sekadar hitungan hari, melainkan simbol perjalanan menuju pemurnian. Musa berpuasa 40 hari di Sinai untuk menerima hukum Tuhan; Yesus berpuasa 40 hari di padang gurun untuk mempersiapkan pelayanan-Nya. Maka mengenang 40 hari Joost berarti juga memasuki ruang refleksi—tentang arti hidup, tentang iman yang bekerja, tentang kasih yang tak kenal batas.
Dalam doa requiem yang mengiringinya, umat tidak hanya menangis, tetapi juga bersyukur. Bersyukur karena pernah memiliki seorang saudara, sahabat, dan panutan yang dengan tenang mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan dan sesama. Dalam wajah duka, ada cahaya harapan: karena kehidupan yang dipersembahkan tidak pernah berakhir. Ia berlanjut dalam kenangan, dalam inspirasi, dalam setiap tindakan kasih yang diteruskan oleh orang-orang yang ia sentuh.






