Euforia Saweran: Krisis Nurani Publik dan Luka Sosial

Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd

Fenomena ini menuntut kehadiran rasa malu sosial—social shame—yang digambarkan Thomas Scheff (2000) sebagai mekanisme moral untuk menjaga kohesi masyarakat. Bukan malu karena miskin, tetapi malu karena membiarkan ketimpangan menjadi tontonan. Ketika masyarakat kehilangan rasa malu atas ketidakadilan, maka ia kehilangan daya etiknya sebagai komunitas. Malu sosial adalah bentuk keinsafan kolektif yang mengingatkan bahwa pesta di tengah luka bukanlah kebanggaan, tetapi pengkhianatan terhadap nurani.

Kita tentu tidak menolak hiburan. Seni dan musik adalah ekspresi jiwa, ruang bagi kebebasan dan kegembiraan. Tetapi hiburan tanpa konteks sosial adalah pelarian dari realitas. Di daerah yang masih berjuang melawan kemiskinan struktural, pesta uang yang tak bermakna sosial adalah tanda kegagalan etika publik. Dalam masyarakat yang sehat, pesta selalu diiringi tanggung jawab; kesenangan tak pernah dipisahkan dari solidaritas.

Bacaan Lainnya

Kini Sulawesi Utara berada di persimpangan: apakah kita akan terus membiarkan euforia uang menggantikan solidaritas sosial, atau berani mengembalikan moralitas publik ke tempatnya? Saatnya membangun kesadaran bahwa kekayaan sejati bukan diukur dari seberapa banyak uang yang bisa dilempar, tetapi dari seberapa dalam empati yang bisa dibagikan.

Filsuf Emmanuel Levinas (1961) mengingatkan, tanggung jawab terhadap wajah orang lain adalah inti kemanusiaan. Wajah-wajah rakyat kecil di luar panggung—para buruh tambang, petani, pedagang kecil, dan pengangguran muda—adalah wajah yang menuntut tanggung jawab moral. Bila kita masih bisa bersorak di tengah penderitaan mereka, berarti kita telah kehilangan kemanusiaan itu sendiri.

Mungkin sudah saatnya kita belajar menurunkan volume musik, agar bisa mendengar suara nurani. Sebab di balik euforia uang dan pesta cahaya, ada kesunyian sosial yang menunggu disentuh. Saweran bukan dosa, tapi ia menjadi dosa sosial ketika kehilangan empati. Sulawesi Utara tidak kekurangan hiburan; yang hilang adalah kearifan untuk menimbang, di mana batas antara pesta dan luka, antara kebanggaan dan kebodohan.

Ketika uang menjadi satu-satunya bahasa cinta, maka peradaban telah berubah menjadi pasar. Dan di pasar semacam itu, manusia bukan lagi makhluk yang berpikir, melainkan barang yang menonton dirinya sendiri dijual atas nama hiburan. Saweran ratusan juta kepada seorang DJ hanyalah gejala kecil dari penyakit besar: krisis nurani publik di tengah kapitalisme lokal yang tak terkendali.

Panggung boleh meriah, tapi nurani tidak boleh padam. Sebab peradaban yang membiarkan uang mengalahkan rasa malu, lambat laun akan kehilangan martabatnya sendiri. (*)

Daftar Pustaka

Bauman, Z. (1993). Postmodern Ethics. Blackwell.

Bauman, Z. (2007). Consuming Life. Polity Press.

Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (pp. 241–258). Greenwood.

BPS Sulawesi Utara. (2024). Laporan Sosial dan Ekonomi Sulawesi Utara 2024. Badan Pusat Statistik.

Debord, G. (1967). The Society of the Spectacle. Buchet-Chastel.

Fromm, E. (1976). To Have or To Be? Harper & Row.

Harvey, D. (2005). A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.

Heidegger, M. (1954). The Question Concerning Technology. Harper.

Kant, I. (2012). Groundwork of the Metaphysics of Morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.

Levinas, E. (1961). Totality and Infinity. Duquesne University Press.

Mauss, M. (2002). The Gift: The Form and Reason for Exchange in Archaic Societies.

Routledge. (Original work published 1925)

Mosco, V. (2009). The Political Economy of Communication. SAGE.

Piketty, T. (2014). Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press.

Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.

Scheff, T. (2000). Shame and the Social Bond: A Sociological Theory. Sociological Theory, 18(1), 84–99.

Scott, J. C. (1972). Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia. The American Political Science Review, 66(1), 91–113.

Veblen, T. (1899). The Theory of the Leisure Class. Macmillan.


Pos terkait