“Kajian itu selanjutnya dikirim ke BPMS dan sekali lagi bidang APP mengkompilasi usul dari jemaat-jemaat. Oleh sebab itu, perlu waktu cukup untuk menetapkan kapan pelaksanaan. Jadi, kalau hanya ketua wilayah yang setuju baik draft perubahan,Tata Gereja dan waktu pelaksanaan, maka SMSI tersebut dinilai cacat hukum,”jelasnya.
Ia pun menambahkan, dirinya merasa sangat sedih dengan kenyataan saat ini dan belum pernah terjadi dalam sejarah GMIM.
“Untuk itu, mari kita letakan SMSI atau SSI sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan bagi lembaga/atau organisasi prestisius seperti GMIM. Dan jangan kita jadikan lembaga yang Kepalanya adalah Yesus Kristus, untuk melegitimasi keinginan sekelompok orang,” tegas Makisanti.
Hal yang sama disampaikan Penatua Joice Worotikan, sesuai data yang ada, pelaksanaan SMSI tahun 2021 ini jika dilaksanakan akan melibatkan ribuan peserta utusan jemaat maupun wilayah.
“Jika ini diijinkan untuk dilaksanakan oleh pihak berwenang. Maka ini adalah tamparan hebat bagi Presiden Joko Widodo karena jumlah peserta bisa mencapai sampai 3000 orang. Terus siapa yang bertanggung jawab. Apakah BPMS bisa menjamin kondisi ini,” tutur salah satu aktifis perempuan Sulut yang juga sebagai inisiator lahirnya GPG.
Mantan Sekretaris P/KB Jemaat GMIM Riedel Wawalentouan, Tondano, Royke Burhan mengatakan, jumlah peserta yang hadir dalam pelaksanaan SSI diperkirakan bisa mencapai 2.000 orang lebih, karena peserta SSI adalah utusan jemaat dan wilayah.
“Kalau peserta SSI mencapai 2.000 orang lebih dengan jarak duduk sejauh 1 meter atau lebih karena penerapan protokoler kesehatan. Maka dibutuhkan gedung seluas 1 hektare. Mana ada lahan seluas 1 hektar di Manado atau daerah lain di Sulut,” terangnya.
Dari pertimbangan apapun, kegiatan SMSI jika dilaksanakan sangat rentan terhadap munculnya kluster baru penyebaran Covid-19 di Sulut. Dan kondisinya akan membahayakan keselamatan jemaat dan masyarakat.
“Jika sudah tertular, maka secara otomatis peserta yang akan pulang yang terdiri dari Pendeta, Penatua dan Syamas sudah pasti akan membawa virus kepada keluarga, bahkan di jemaat masing-masing. Jika pelaksanaan SMSI Tahun 2021 dilaksanakan, maka ini akan menjadi momentum paling menyedihkan di Sulut,” tegas Burhan.
Pendeta Ricky Pitoy Tafuama jebolan Fakultas Theologia UKI Tomohon menuturkan petisi yang disampaikan kepada BPMS GMIM termasuk para stakeholder di Provinsi Sulut tersebut sebagai upaya untuk menyelamatkan GMIM sebagai sebuah institusi keagamaan di dunia yang menjawab panggilan pelayanan berdasarkan takut akan Tuhan Yesus.
“Ini adalah panggilan iman dari Pendeta, Penatua, Syamas maupun anggota jemaat yang memiliki integritas, untuk tetap menjaga GMIM sebagai sebuah wadah untuk bersaksi tentang Tuhan Yesus. Ini adalah panggilan iman, maka gerakan ini murni tanpa diboncengi, tanpa ada unsur kepentingan dari siapapun dan tanpa paksaan dari manapun,” tandas Pitoy.(ml)