Kamisan Minahasa: Dibubarkan Aparat, Deklarasi di Kampus

Aparat gabungan ketika menghadang pelaksanaan Aksi Kamisan di Minahasa. (Foto: Istimewa for DetikManado.com)

Tondano, DetikManado.com – Salah satu trotoar sekitaran Bundaran Monas Tondano, Minahasa nampak hitam menyeruak. Puluhan anak muda di trotoar tersebut memakai pakaian, memegang payung dan spanduk berwarna hitam.

Hal tersebut karena sejumlah para anak muda ini hendak melaksanakan Aksi Kamisan perdana. Akan tetapi, rencana aksi itu tidak terlaksana sebab aparat gabungan dari kepolisian Resort Minahasa dan Sat Pol PP membubarkan aksi tersebut.

Bacaan Lainnya

Salah seorang peserta Aksi Kamisan, Rizki sangat menyesalkan pembubaran tersebut. Menurutnya, mereka telah melayangkan surat pemberitahuan sebelum turun aksi.

Ia juga menyayangkan alasan aparat keamanan karena pandemi Covid-19. Rizki pun membeberkan, banyak acara partai dan acara instansi lain yang mengumpulkan puluhan orang bisa dilaksanakan.

“Sebelum aksi Kamisan ini kami sudah melayangkan surat pemberitahuan kepada Polres Minahasa. Jika alasannya Covid-19, kenapa acara lain seperti acara partai atau acara instansi bisa dilaksanakan,” ungkap Kiki, sapaan akrabnya ini, Kamis (22/4/2021) di trotoar dekat Bundaran Monas yang disebut sebagai rencana lokasi Aksi Kamisan.

Bahkan, ketika mereka akan membuka spanduk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) hal itu tidak diizinkan. Peserta Aksi Kamisan lalu memilih duduk dan diam di trotoar, namun dilarang aparat gabungan. Rencananya aksi itu akan dilaksanakan pekan depan dengan mengirim surat pemberitahuan 3 hari ke kepolisian setempat.

Tak hanya Kiki, salah satu peserta yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan, sebelum pukul 15:00 Wita aparat sudah berada di lokasi.

“Pukul 16:17 Wita, para peserta telah terkumpul sekitar 50 peserta. Ketika akan melakukan pembacaan orasi pada pukul 16:30 Wita, aparat pengamanan yang tergabung dari Polri, TNI, dan Sat Pol PP membubarkan masa aksi tersebut,” ujarnya.

Ia menjelaskan, dalam situasi tersebut ada beberapa peserta aksi melakukan negosiasi dengan pihak keamanan, namun tetap tidak digubris. Pukul 16:30 Wita para peserta membubarkan diri masing-masing.

Melihat tindakan pembubaran tersebut, para peserta aksi ini lalu mendeklarasikan Aksi Kamisan di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Manado (Unima) Tondano. Para anak muda ini memegang spanduk bertuliskan “Aksi Kamisan Minahasa”, “Melawan Impunitas”, “Menolak Lupa”.

“Hidup Korban, Jangan Diam, Lawan,” seru puluhah anak muda ini, ketika Kiki mendaraskan beberapa poin tuntutan Aksi Kamisan perdana tersebut.

Ada beberapa isu maupun tuntutan dalam Aksi Kamisan perdana, diantaranya tuntaskan pelanggaran HAM masa lalu (Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, dll), pelanggaran HAM di Papua, masalah pertambangan di Maluku Utara (Malut), Sangihe, Sulut dan sebagainya.

Lalu mereka menyerukan stop perampasan ruang hidup (kasus Kelelondey, Lolak, Kalasey, mata air hujan di Bitung, sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), wujudkan pendidikan dan kesehatan gratis dan cabut UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Di Sulut, aksi tersebut pertama kali digelar di Manado tahun 2019 oleh elemen mahasiswa dan jejaring organisasi masyarakat sipil. Di Minahasa, konsolidasi aksi itu dilakukan aktivis organisasi pergerakan dan paguyuban atau rukun mahasiswa. (tr-05)

Sekilas Sejarah Aksi Kamisan
Aksi Kamisan mulanya dilaksanakan padaKamis 18 Januari 2007 oleh para aktivis dan keluarga korban menuntut penuntasan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, seperti Tragedi Semanggi, Trisakti, dan Tragedi 13-15 Mei 1998, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari 1989 dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, aksi ini tak hanya dilangsungkan di Jakarta, akan tetapi di Yogyakarta, Surabaya, Malang dan kota lainnya. Serupa dengan di depan Istana Merdeka, Aksi Kamisan yang digelar di daerah lain juga menuntut penuntasan pelanggaran HAM berat.

Aksi Kamisan ini digagas oleh tiga keluarga korban dugaan pelanggaran HAM berat, yakni Maria Katarina Sumarsih, orangtua dari Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas pada November 1998 dalam Peristiwa Semanggi I.

Kemudian Suciwati, istri mendiang pegiat HAM Munir Said Thalib, dan Bedjo Untung, perwakilan dari keluarga korban pembunuhan, pembantaian dan pengurungan tanpa prosedur hukum terhadap orang-orang yang diduga PKI pada tahun 1965-1966.

Aksi Kamisan merupakan sebuah aksi lanjutan dari keberadaan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dalam menjalankan programnya. Di penghujung tahun 2006, JSKK yang merupakan paguyuban korban dan keluarga korban pelanggaran HAM mengadakan diskusi bersama Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) dan KontraS untuk mencari alternatif kegiatan dalam menyuarakan aspirasinya.

Pada pertemuan hari Selasa, 9 Januari 2007, bersama KontraS dan JRK, disepakati untuk mengadakan suatu kegiatan untuk memperjuangkan penuntasan kasus pelanggaran HAM. Sebuah kegiatan berupa ‘Aksi Diam’ sekali dalam seminggu menjadi pilihan bersama. Bahkan disepakati pula mengenai hari, tempat, waktu, pakaian, warna, dan maskot sebagai simbol gerakan.

Pilihan jatuh pada hari Kamis, karena hari tersebut merupakan hari di saat peserta rapat bisa meluangkan waktu. Depan Istana Presiden menjadi lokasi aksi karena Istana merupakan simbol pusat kekuasaan. Waktu ditentukan pukul 16.00-17.00 WIB. Waktu tersebut dipilih lantaran saat sore hari itu lalu lintas di depan Istana Presiden ramai oleh kendaraan pulang kerja.

Dilansir dari berbagai sumber, Aksi Kamisan ini menitikberatkan pada aksi diam disertai payung hitam bertuliskan tuntutan-tuntutan penyelesaian kasus. Aksi ini juga disebut Aksi Payung Hitam.

Aksi Kamisan sendiri dilatar belakangi dari sikap pemerintah yang dirasa semakin mengabaikan penyelesaian HAM. Pemerintah yang terus diam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM berat menjadi dorongan aktif keluarga korban dan para aktivis dalam menyuarakan aspirasinya.

JSKK sendiri baru mengagendakan Aksi Kamisan 2 tahun setelah mereka berdiri dan mantap sebagai paguyuban yang memayungi korban pelanggaran HAM di masa lalu. Sebelumnya JSKK sendiri hampir bubar, dengan alasan bahwa agenda keorganisasian JSKK berbenturan langsung dengan Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI).

Namun dalam perjalanannya, forum JSKK memutuskan agar paguyuban terus jalan dan kelak membubarkan diri jika dirasa sudah tidak efektif.

Sasaran dari Aksi Kamisan adalah empat lembaga yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasus pelanggaran HAM. Yaitu presiden sebagai penerbit regulasi bernama Keputusan Presiden (Keppres), DPR sebagai instansi yang merumuskan surat rekomendasi kepada Presiden, komnas HAM sebagai lembaga penyelidik, dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik.

Namun, yang menjadi tujuan dari Aksi Kamisan ialah presiden dengan pertimbangan yang mengacu pada substansi UU No. 26 Tahun 2000, di mana presiden memegang peran sebagai pembuat keputusan utama dalam pembentukan pengadilan adhoc maupun Keppres yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Menurut Bedjo Untung, salah satu korban pelanggaran HAM pada kasus pasca-1965, target utama dari Aksi Kamisan ini agar presiden memberikan respon nyata dan positif terhadap kasus penyelesaian pelanggaran HAM. Menurut dia, presiden serta ketegasannya merupakan kunci utama dalam penegakan keadilan HAM di Indonesia.


Pos terkait