Sekilas Sejarah Aksi Kamisan
Aksi Kamisan mulanya dilaksanakan padaKamis 18 Januari 2007 oleh para aktivis dan keluarga korban menuntut penuntasan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, seperti Tragedi Semanggi, Trisakti, dan Tragedi 13-15 Mei 1998, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari 1989 dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, aksi ini tak hanya dilangsungkan di Jakarta, akan tetapi di Yogyakarta, Surabaya, Malang dan kota lainnya. Serupa dengan di depan Istana Merdeka, Aksi Kamisan yang digelar di daerah lain juga menuntut penuntasan pelanggaran HAM berat.
Aksi Kamisan ini digagas oleh tiga keluarga korban dugaan pelanggaran HAM berat, yakni Maria Katarina Sumarsih, orangtua dari Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas pada November 1998 dalam Peristiwa Semanggi I.
Kemudian Suciwati, istri mendiang pegiat HAM Munir Said Thalib, dan Bedjo Untung, perwakilan dari keluarga korban pembunuhan, pembantaian dan pengurungan tanpa prosedur hukum terhadap orang-orang yang diduga PKI pada tahun 1965-1966.
Aksi Kamisan merupakan sebuah aksi lanjutan dari keberadaan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dalam menjalankan programnya. Di penghujung tahun 2006, JSKK yang merupakan paguyuban korban dan keluarga korban pelanggaran HAM mengadakan diskusi bersama Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) dan KontraS untuk mencari alternatif kegiatan dalam menyuarakan aspirasinya.
Pada pertemuan hari Selasa, 9 Januari 2007, bersama KontraS dan JRK, disepakati untuk mengadakan suatu kegiatan untuk memperjuangkan penuntasan kasus pelanggaran HAM. Sebuah kegiatan berupa ‘Aksi Diam’ sekali dalam seminggu menjadi pilihan bersama. Bahkan disepakati pula mengenai hari, tempat, waktu, pakaian, warna, dan maskot sebagai simbol gerakan.
Pilihan jatuh pada hari Kamis, karena hari tersebut merupakan hari di saat peserta rapat bisa meluangkan waktu. Depan Istana Presiden menjadi lokasi aksi karena Istana merupakan simbol pusat kekuasaan. Waktu ditentukan pukul 16.00-17.00 WIB. Waktu tersebut dipilih lantaran saat sore hari itu lalu lintas di depan Istana Presiden ramai oleh kendaraan pulang kerja.
Dilansir dari berbagai sumber, Aksi Kamisan ini menitikberatkan pada aksi diam disertai payung hitam bertuliskan tuntutan-tuntutan penyelesaian kasus. Aksi ini juga disebut Aksi Payung Hitam.
Aksi Kamisan sendiri dilatar belakangi dari sikap pemerintah yang dirasa semakin mengabaikan penyelesaian HAM. Pemerintah yang terus diam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM berat menjadi dorongan aktif keluarga korban dan para aktivis dalam menyuarakan aspirasinya.
JSKK sendiri baru mengagendakan Aksi Kamisan 2 tahun setelah mereka berdiri dan mantap sebagai paguyuban yang memayungi korban pelanggaran HAM di masa lalu. Sebelumnya JSKK sendiri hampir bubar, dengan alasan bahwa agenda keorganisasian JSKK berbenturan langsung dengan Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI).
Namun dalam perjalanannya, forum JSKK memutuskan agar paguyuban terus jalan dan kelak membubarkan diri jika dirasa sudah tidak efektif.
Sasaran dari Aksi Kamisan adalah empat lembaga yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasus pelanggaran HAM. Yaitu presiden sebagai penerbit regulasi bernama Keputusan Presiden (Keppres), DPR sebagai instansi yang merumuskan surat rekomendasi kepada Presiden, komnas HAM sebagai lembaga penyelidik, dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik.
Namun, yang menjadi tujuan dari Aksi Kamisan ialah presiden dengan pertimbangan yang mengacu pada substansi UU No. 26 Tahun 2000, di mana presiden memegang peran sebagai pembuat keputusan utama dalam pembentukan pengadilan adhoc maupun Keppres yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Menurut Bedjo Untung, salah satu korban pelanggaran HAM pada kasus pasca-1965, target utama dari Aksi Kamisan ini agar presiden memberikan respon nyata dan positif terhadap kasus penyelesaian pelanggaran HAM. Menurut dia, presiden serta ketegasannya merupakan kunci utama dalam penegakan keadilan HAM di Indonesia.