Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Dosen Unika De La Salle Manado – Pegiat Filsafat)
Kondisi saat ini terkait dengan keberadaan manusia dan kemanusiaan, sesungguhnya tidak ada masalah. Namun demikian, dengan adanya fakta sekarang terkait pandemi covid19, akhirnya kita semua ‘kembali kepada kemanusiaan’. Mengapa demikian? Karena di saat semua bidang terdampak, berbagai ilmuan, ahli dan pakar dibidangnya, bergerak cepat dan bereksperimentasi dengan ilmunya, sekiranya bias menemukan solusi untuk mengatasi wabah ini. Itu lazim terjadi kurun 3 bulan terakhir. Tapi apa dan bagaimana pun hal itu terjadi, akhirnya semua tetap kembali kepada manusia. Keterpurukan apapun, semua bermuara kepada manusia dan kemanusiaan. Maka karena hal tersebutlah, penulis mencoba berefleksi tentang hal ini, kembali kepada kemanusiaan.
Jika kita menukik lebih dalam, jelaslah bahwa sejarah kehidupan manusia menyatakan bahwa gagasan dan pemikiran kemanusiaan sebagai poros martabat dan atau keagungan manusia, tidak serta-merta/tidak otomatis menciptakan manusia yang bermartabat, mulia, dan agung; dan tidak serta-merta pula mewujudkan rupa kemanusiaan yang diharapkan atau dicitacitakan. Demikian juga, kesadaran, gagasan, pemikiran, dan praksis kemanusiaan justru terkadang menimbulkan kemanusiaan tanpa manusia. Mengapa demikian, karena idealisme yang diciptakan tentu saja membutuhkan wujud nyata atau hal-hal praksis kemanusiaan itu secara riil. Jika kita hanya sampai pada gagasan, ide, pemikiran yang tanpa wujud, mementaskan dengan jelas bahwa itu tidaklah nyata. (Bdk. Hardiman, 2012).
Terkait hal itu, fokus refleksi ini mengarah pada realitas bagaimana kemanusiaan-humanisme itu. The Bristol Humanist Group, menyatakan bahwa humanisme adalah suatu pendekatan terhadap kehidupan yang didasarkan pada kemanusiaan. Humanisme juga mengakui bahwa nilai-nilai moral didasarkan pada sifat dan pengalaman manusia semata. Jadi, humanisme adalah paham yang menitikberatkan pada manusia, kemampuan kodrati dan kehidupan duniawinya. Dalam kerangka ini, manusia ditempatkan sebagai makhluk yang paling unik dari makhluk lainnya, karena manusia memiliki kesadaran. Demikianlah jika kita melihat situasi kini yang disebut ‘humanis’ adalah orang yang berjuang untuk menilai, melawan, dan atau mencegah suatu perbuatan yang di dalamnya manusia atau kemanusiaan misalnya, dilecehkan, ditindas, atau diabaikan. Dan jika begitu, humanisme adalah sebentuk model untuk melindungi martabat manusia dari sikap eksklusivistis. (ibid).
Kendati demikian, ketika kita bicara kemanusiaan, pada prinsipnya akan bicara juga tentang tindakan. Dengan kata lain, tindakan adalah penanda bahwa kemanusiaan itu nyata, terwujud atau tidak. Suseno menegaskan bahwa tindakan itu dibentuk dalam sebuah kepribadian. Sementara, kepribadian yang kuat adalah kepribadian yang tunduk pada keutamaan-keutamaan etis, karena manusia pasti akan memandang bahwa keutamaan-keutamaan tersebut membuat orang melakukan apa yang baik dan tepat dengan mudahnya. Semakin memiliki kepribadian yang kuat, justru semakin kuat dan berkeutamaan pula manusia itu. (Suseno 1997: 39).
Berpijak dari sana, kita bisa melihat bahwa fakta kini mementaskan sebuah realitas yang memprihatinkan. Kondisi wabah yang belum berakhir ini, tentu menyerang semua bidang. Walaupun akhirnya didalamnya ada sebuah budaya baru yang terbentuk. Kendati begitu, kita tidak bisa mengelak juga sebuah fakta riil bahwa ketika semua lini terdampak wabah ini, tetapi semuanya itu akan kembali kepada satu hal, yang menurut keyakinan penulis, hal yang tidak bisa diabaikan bahkan diperhatikan. Itulah kemanusiaan. Semua akhirnya kembali kepada kemanusiaan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa kemanusiaan yang paling penting adalah bertindak sebagai manusia. Dalam kondisi demikian, kita pun (sebagai manusia) sangat perlu memberikan pertanggungjawaban atas pentingnya mengedepankan kemanusiaan yang dimaksud. Maka sebagai langkah yang solutif, kembali kepada diri sendiri dan bertanggung jawab terhadap diri serta segala tindakan yang kita lakukan. Dengan begitu, kita akan bertanggung jawab terhadap orang lain. Terkait ini, Filosof Levinas mengajarkan: Komitmen dan tanggung jawab terhadap orang lain membuka keberadaan saya (keberadaan diri) dan dengan itu menunjukkan juga identitas saya. Dengan mampu mengambil sikap bertanggung jawab, saya justru menyadari kebebasan dan keberadaanku. Demikian juga, dengan secara bebas memilih bertanggung jawab, hidupku menjadi berarti di tengah dunia, sesama dan Tuhan. (Hidya Tjaya 2012: 101).
Pada saat yang sama, tindakan etis terhadap sesama, tidak hanya sekedar menyangkut prinsip-prinsip sikap moral atau aturan tindakan saja, melainkan merupakan wujud dari usaha untuk menuju orang lain (bertanggung jawab terhadap orang lain). Sebuah tindakan etis, harus berorientasi bukan hanya kepada diri sendiri tetapi kepada orang lain. Melakukan tindakan etis, berarti pula bertanggung jawab terhadap orang lain. Maka dari itu, kini saatnya manusia membela kembali kemanusiaan. Manusia harus terus-menerus memperjuangkan terwujudnya kemanusiaan yang diidamkan karena kemanusiaan merupakan manifestasi ketuhanan.