Manado, DetikManado.com – Meningkatnya tensi politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024, juga dibarengi dengan mulai menguatnya politik identitas yang menyasar isu SARA. Ruang-ruang digital mulai dipenuhi beragam misinformasi, malinformasi, dan disinformasi termasuk hoaks.
Pada 14 Oktober 2022 silam, sebuah video yang ternyata hoaks tentang dukungan Uskup Katolik Se-Jabodetabek terhadap Anies Baswedan sebagai Calon Presiden, beredar ramai di Youtube dan WhatsApp.
Sebagaimana dikutip dari suara.com, informasi tersebut dibagikan oleh kanal YouTube OFFICIAL NEWS UPDATE dengan judul “30 MENIT YANG LALU..!! USKUP KATOLIK SE JABODETABEK DEKLARASI DUKUNG ANIES PRESIDEN”.
Dalam foto thumbnail tersebut menampilkan potret Anies Baswedan sedang berpidato di dalam sebuah gereja.
Begini narasi yang dituliskan dalam thumbnail video tersebut.
“Buzzer kerjang-kejang. Para Uskup Katolik seJabodetabek deklarasi Anies hari ini”
Lalu benarkah klaim tersebut?
Berdasarkan hasil penelusuran, klaim soal Anies Baswedan didukung oleh Uskup Katolik se-Jabodetabek adalah salah.
Sekretaris Jendral Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) Adi Prasojo mengklarifikasi dan membantah klaim yang ada dalam video tersebut. Keuskupan Agung Jakarta menyatakan bahwa Gereja Katolik Indonesia tetap menjaga netralitas.
Dia juga menegaskan bahwa Gereja Katolik mendorong proses politik yang menjunjung prinsip dan etika untuk kebaikan bersama.
Romo Adi pun secara tegas menjelaskan bahwa saat Anies bertemu dengan Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, di Katedral Jakarta bukanlah merupakan sebuah agenda ataupun pertemuan politik.
Anies yang melakukan kunjungan pada 28 September 2022 tersebut adalah momen dalam rangka berpamitan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Adapula unggahan video tersebut berisi kunjungan Anies ke sejumlah Gereja Katolik dan Protestan ketika Natal.
Beredarnya dukungan dari kalangan umat Katolik yang tergabung dalam “Keuskupan Jabotabek” pada Anies Baswedan sebagai Capres pada 14 Oktober menjadi salah satu contoh hoaks isu SARA dan politik identitas di tingkat nasional.
Dalam konteks lokal di Sulut, konstelasi politik nasional terutama yang menyeret isu SARA dan politik identitas juga mulai menguat. Terutama dengan terbentuknya relawan-relawan capres dengan latar belakang agama tertentu.
Beragam informasi dan hoaks mulai tersebar, dan diprediksi akan semakin masif saat dimulainya tahapan Pemilu 2024 nanti.
Tak hanya kontestasi politik nasional yang menghadirkan pertarungan para Capres, di tingkat Pilkada di Provinsi Sulut dan Kota Manado juga politik identitas bakal mewarnai. Klaim dukungan dari kelompok agama tertentu atau bahkan tokoh dan pimpinan agama terhadap calon tertentu akan muncul. Pengalaman Pilkada tahun-tahun sebelumnya memberi referensi ini.
Untuk mengantisipasi beredarnya hoaks bernuansa SARA di Pemilu 2024, maka penting bagi publik untuk mendapatkan informasi yang bisa dipercaya dari sumber yang kredibel.
Pengetahuan dan ketrampilan soal bagaimana mengidentifikasi, memilah dan memilih informasi yang akurat, serta melawan peredaran hoaks menjadi hal penting menghadapi Pemilu 2024, sekaligus menjaga kondusifitas bangsa.
Berdasaran bahan materi ajar dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), ada tiga jenis gangguan informasi, yakni misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.
Misinformasi yang salah, namun, orang yang membagikannya percaya itu benar. Disinformasi adalah informasi yang salah dan orang yang membagikannya tahu itu salah. Ini disengaja.
Sedangkan malinformasi adalah informasi yang memiliki unsur kebenaran, baik dalam penggalan atau keseluruhan fakta objektif. Namun penyajiannya dikemas sedemikian rupa untuk melakukan tindakan yang merugikan bagi pihak lain.