Selain itu, Riski juga menyiapkan berbagai buku di atas box veskopnga. Tertata rapi di atas box, para pelanggan bisa melihat beragam buku tersebut bertema sastra, sejarah, bahkan filsafat dan beberapa tema lain.
Menurut Riski, hal tersebut sebagai salah satu upaya mengembangkan minat membaca buku di kalangan masyarakat. Di sisi lain, fungsi buku itu baginya sebagai bahan untuk diskusi dan bertukar pikiran.
Bahkan, seringkali dirinya membuka lapak buku di sekitar usaha veskopnya bersama salah satu komunitas literasi yakni Literasi Minahasa. Kebetulan dalam kelompok ini, dirinya termasuk salah satu anggotanya.
“Saya bawa buku berkisar 30 lebih. Kalau hari-hari biasa palingan 10 buku,” ujar Riski sembari memperlihatkan buku-buku yang dibawa.
Sudah lama Riski menekuni usaha ini, tetapi sering kali ada kendala yang dialami seperti cuaca dan minimnya alat. Dengan menggunakan konsep ruang terbuka, veskop ini belum memiliki payung guna melindungi pelanggan saat hujan. Alat-alat pembuatan kopinya juga masih terbatas dan sederhana, tidak seperti layaknya peralatan di kedai maupun cafe pada umumnya.
Kendati begitu, Riski tetap semangat meneruskan usaha yang telah lama dia rintis ini. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unima ini juga turut berharap kepada siapa saja yang ingin membuka usaha yang sama agar memiliki keberanian.
“Ada niat dan usaha. Jangan pernah lelah mencoba. Karena gagal itu hal biasa,” imbuh Riski sesaat sebelum membereskan sampah di sekitar veskop miliknya.
Selain veskop yang dihiasi nuansa literasi dan kopi, usaha ini dilakukan Riski guna mencari penghasilan tambahan. (Richard Fangohoi)