Manado – Di tengah hantaman modernisasi dan menguatnya individualisme, masyarakat Minahasa di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) masih tetap mempertahankan tradisi kebersamaan dan gotong-royong yang dikenal dengan istilah mapalus.
Teolog dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon, Denni Pinontoan mengatakan, mapalus adalah praktek tua yang melembaga di Minahasa sejak sebelum Kekristenan di erima secara masif dan sejak tanam paksa kopi diberlakukan awal abad 19.
Kata “mapalus” terbentuk dari dua kata “ma” sebagai awal untuk menunjuk pada sebuah proses yang aktif, dan “palus” yang berarti “dicurahkan” atau “dibagikan”.
“Jadi mapalus dari segi istilah artinya saling mencurahkan tenaga dan sumber daya atau saling membagikan apa yg dimiliki masing-masing pihak atau orang,” ujar Denni, Rabu (22/05/2019).
Sebagai sebuah praktek kerja, ungkap Deni, mapalus berarti kerja bersama atau bergiliran dengan kesepakatan-kesepakatan yang diterima bersama untuk menyelesaikan suatu kerja (bertani) demi tujuan yang diharapkan bersama. “Praktek mapalaus adalah kerja bersama secara bergiliran di bidang pertanian. Di masa orang-orang Minahasa sebagian besarnya bertani, mapalus dilaksanakan di setiap kampung atau negeri,” ungkapnya.
Denni menambahkan, pelaksanaan mapalus terorganisir melalui kelompok-kelompok yang terdiri dari 10 sampai 50 orang. Di dalamnya ada konsensus tentang aturan dan kewajiban-kewajiban kerja bersama. “Mapalus kini sudah bertransformasi pada banyak bidang kehidupan, baik dalam keluarga besar, komunitas atau antara kelompok masyarakat, dalam suka maupun duka. Bentuknya juga sudah berubah tergantung kebutuhan,” ujarnya.