Manado,DetikManado.com -Warga Desa Tikela,Kecamatan Tombulu, di perbatasan Kabupaten Minahasa dan Kota Manado, Sulawesi Utara, dikhawatirkan kehilangan hak suaranya dalam Pilkada 2024. Musababnya, selama bertahun-tahun mereka menghadapi masalah status kependudukan yang dianggap amburadul. Benarkah pemerintah daerah dan KPU menutup mata?
Secara geografis, Desa Tikela lebih dekat ke Kota Manado. Tetapi, secara administratif, desa yang terletak di Kecamatan Tombulu itu masuk Kabupaten Minahasa.
Di sinilah masalah utamanya: jarak.
Warga di desa itu, misalnya, harus merogoh kocek lebih dalam jika harus ke ibu kota Kabupaten Minahasa.
“Kasihan warga yang harus bolak-balik dengan jarak tempuh sekitar satu jam. Belum lagi mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi harus menggunakan uang pribadi paling sedikit Rp50 ribu sekali jalan,” kata Eky Moningka, warga Desa Tikela.
Sebaliknya, masih menurut Eky, mereka dapat berjalan kaki ke Kantor Kelurahan Paal 4, Kecamatan Tikala, Kota Manado.
Eky Moningka adalah warga Desa Tikela yang sejak awal menginginkan agar desanya masuk ke wilayah Kota Manado.
Eky pernah ditunjuk sebagai perwakilan desa itu saat berunjukrasa ke DPRD Sulawesi Utara agar meloloskan aspirasi itu.
Upaya yang sudah diperjuangkan selama bertahun-tahun itu kandas.
Mereka akhirnya dipaksa menerima kenyataan bahwa mereka adalah warga Kabupaten Minahasa.
“Keberadaan kami tidak bisa dipertahankan karena sudah masuk wilayah Kabupaten Minahasa,” kata Eky masygul.
Namun yang bikin Eky geram, dia mendengar ada warga Desa Tikela yang mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Manado.
Kenyataan inilah yang mendorong Eky dan warga desa itu untuk mendapatkan hak yang sama.
Pada Pemilu 2024 lalu, misalnya, mereka berupaya agar dapat menyalurkan suaranya di TPS di Kota Manado.
Hasilnya? “Kami tidak dilayani juga,” akunya. Mereka bahkan sempat menggelar demonstrasi, namun tetap tak berhasil.
Namun ini tak terjadi pada Alex Lambanaung, warga Desa Tikela lainnya. Sejak 1989 lalu, dia memiliki KTP Kota Manado, sehingga pada Pilpres 2024 lalu dia menyalurkan suaranya di kota itu.
Seperti Eky, Alex tetap memiliki impian agar desanya dapat bergabung ke wilayah Kota Manado, bukan Kabupaten Minahasa.
Alasan Alex sangat teknis: Jarak. Dia tidak perlu berlama-lama di jalan untuk mengurus administrasi kependudukan ke Kota Manado.
“Kalau tidak memiliki kendaraan, Rp200 ribu tidak cukup [ke Kabupaten Minahasa]. Tetapi jika ke Kantor Kelurahan Paal 4 [di Kota Manado] hanya Rp12 ribu saja,” akunya.
Tentu saja adalah alasan lainnya. Alex menuding fasilitas kantor pemerintah Desa Tikela “memprihatinkan”. Bahkan pegawainya harus selalu berpindah-pindah tempat, akunya.
“Siapa yang jadi sekretaris desa rumahnya dijadikan kantor,” ungkapnya.
Hal lainnya, Alex menuduh tiga desa di Kabupaten Minahasa yaitu Desa Tikela, Sawangan dan Kamangta, tidak pernah melakukan pemilihan kepala desa.
“Hal ini yang menjadi keraguan kami juga untuk pindah ke Kabupaten Minahasa,” jelasnya.
Kembali lagi ke Eky Moniaga. Menurutnya, saat ini ada sekitar 175 kepala keluarga yang memutuskan menjadi warga Kabupaten Minahasa. Termasuk dirinya sendiri.
“Hal ini dilakukan agar memudahkan administrasi anak saya bersekolah yang memerlukan kartu keluarga,” Eky menjelaskan.
Dualisme data kependudukan di Desa Tikela ini berdampak pada Pilpres dan Pemilu Legislatif 2024 lalu.
Menurutnya, saat itu ada dua tempat pemungutan suara (TPS) di Desa Tikela. Jumlah total pemilihnya sekitar 500 orang.
“Saat saya cek ke petugas Pantarlih, penyebabnya ada warga yang menolak memilih ke Kabupaten Minahasa sehingga dibuat dua TPS,” terangnya.
Ada sejumlah alasan lainnya yang warga Desa Tikela memilih di TPS Kota Manado. Ini kesaksian warga bernama Sartono Papalapa.
Ketika desa belum bergabung Kabupaten Minahasa, saat Pilpres 2024 lalu, mereka tidak dilayani di Kabupaten Minahasa.
“Kami hanya dilayani di Kota Manado karena memiliki KTP Manado,” kata Sartono.
Status kependudukan warga Desa Tikela yang terbelah ini, membuat sebagian warga desa itu tidak terdaftar dalam Pemilu 2024 lalu. Ini setidaknya pengakuan Sartono.
Sebagian mereka ingin memilih di Manado, tetapi tidak dilayani.
Sartono mengaku masih berstatus KTP Manado dan saat ini tengah mengurus kelengkapan administrasi untuk pindah di Kabupaten Minahasa.
“Kendalanya saya harus mengurus surat pindah dari Manado ke Kabupaten Minahasa yang memakan waktu yang cukup lama,” akunya.
Kendala lain yang ada di Desa Tikela menurutnya, yaitu saat penguburan warga yang meninggal dunia, dimana lebih dekat ke Manado ketimbang lokasi penguburan di desa Tikela yang jauh.
“Kalau yang beragama Kristiani tidak terlalu masalah namun yang bergama muslim harus memiliki tempat khusus namun tidak tersedia,” tutur Sartono.
Dia juga juga memiliki sebuah lahan kosong, bermaksud mengurus sertifikat di Kantor Pertanahan Kabupaten Minahasa namun ditolak dan harus mengurusnya di Kota Manado.
“Saya bingung, bagaimana kami akan masuk ke Kabupaten Minahasa tetapi ditolak mengurus surat di Kantor Pertanahan,” kata Sartono.