Oleh: Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd (Alumnus STF Seminanri Pineleng dan IAIN Manado)
*Saat Kata Bertemu Alam*
Di Auditorium FISIP Universitas Sam Ratulangi Manado, Sabtu 4 Oktober 2025, udara siang sampai sore yang mendung terasa lebih sejuk dari biasanya. Di tengah riuh percakapan dan kilatan kamera, sekelompok jurnalis dari berbagai media berkumpul untuk satu tujuan yang melampaui sekadar liputan: merawat bumi dengan kata-kata. Mereka adalah para jurnalis lingkungan yang tergabung dalam Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) Sulawesi Utara, yang menggelar Musyawarah Daerah (Musda) pertamanya.
Tema yang mereka angkat begitu kuat dan simbolik: “Jurnalisme Lingkungan di Era Digital: Hijaukan Narasi, Kokohkan Organisasi.” Ini bukan sekadar jargon seremonial, tetapi pernyataan sikap di tengah derasnya arus digital yang sering kali lebih memprioritaskan sensasi ketimbang keberlanjutan. Mereka ingin menghadirkan jurnalisme yang berpihak pada kehidupan: merawat, melestarikan, dan mengadvokasi keutuhan ciptaan, bukan hanya melaporkan kerusakan secara pasif.
Dalam konteks Sulawesi Utara, yang dikenal dengan keindahan bahari, pegunungan tropis, dan keanekaragaman hayati tinggi, peran jurnalis lingkungan bukanlah tambahan, melainkan kebutuhan mendesak. Dari persoalan tambang emas ilegal di Bolaang Mongondow, deforestasi di Minahasa, pencemaran Teluk Manado, hingga degradasi ekosistem laut di Likupang, narasi lingkungan hidup membutuhkan ruang yang kokoh dan kritis.
*Jurnalisme dan Tanggung Jawab Filosofis*
Filsafat mengajarkan kita untuk melihat realitas bukan hanya sebagai kumpulan fakta, tetapi sebagai medan makna dan tanggung jawab. Dalam konteks jurnalisme lingkungan, tugas wartawan bukan hanya melaporkan peristiwa, tetapi juga memaknai dan menafsirkan relasi manusia dengan alam secara kritis.
Filsuf Prancis Bruno Latour dalam Politics of Nature (2004) mengingatkan bahwa persoalan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari sistem politik, ekonomi, dan kultural yang membentuk cara kita berbicara tentang alam. Alam bukan sekadar latar belakang pemberitaan, tetapi aktor yang ikut menentukan arah masa depan. Dalam kerangka ini, jurnalis lingkungan berperan sebagai mediator antara realitas ekologis dan ruang publik.
Martin Heidegger dalam Being and Time (1927) juga menyentuh aspek ini secara mendasar. Ia berbicara tentang Dasein, keberadaan manusia yang selalu berada “di dalam dunia.” Artinya, manusia tidak pernah berdiri di luar alam, tetapi menjadi bagian darinya. Jika jurnalis memahami keberadaannya sebagai “ada-di-dalam-alam”, maka setiap berita tentang kerusakan lingkungan juga merupakan berita tentang krisis eksistensi manusia sendiri.
Dalam konteks Musda I SIEJ Sulut, kesadaran filosofis ini sangat penting. Di tengah era digital, ketika algoritma media sosial lebih mengutamakan konten viral ketimbang konten bernilai, jurnalisme lingkungan harus menjadi ruang perlawanan terhadap reduksi makna. Wartawan tidak hanya memotret realitas ekologis, tetapi juga menanamkan kesadaran baru dalam ruang publik: bahwa bumi bukan komoditas, melainkan rumah bersama.
*Etika Lingkungan dan Imperatif Moral*
Selain landasan filosofis, jurnalisme lingkungan membutuhkan etika yang kokoh. Etika lingkungan menuntut keberpihakan pada kehidupan, bukan pada kepentingan ekonomi jangka pendek.
Filsuf Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility (1979) menegaskan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral terhadap keberlangsungan kehidupan generasi mendatang. Dalam konteks jurnalistik, ini berarti berita lingkungan tidak boleh sekadar menjadi “konten” yang berlalu, melainkan panggilan untuk bertindak.
Dalam tradisi jurnalisme konvensional, prinsip keberimbangan sering dipahami sebagai memberikan ruang sama bagi semua pihak.
Namun, dalam isu lingkungan, keberimbangan bukan berarti menempatkan perusak alam dan korban ekologis dalam posisi moral yang sama. Sebagaimana ditegaskan oleh Bill McKibben dalam The End of Nature (1989), krisis ekologis menuntut keberanian jurnalis untuk berpihak kepada bumi, bukan sekadar menjadi penonton netral.
Etika ini juga mencakup keberanian untuk mengungkap praktik-praktik korporasi yang merusak, menyoroti kebijakan pemerintah yang abai, dan memberi ruang suara bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang sering menjadi benteng terakhir pelestarian alam.
Dalam konteks Sulawesi Utara, ini berarti mengangkat suara warga pesisir yang kehilangan mata pencaharian karena reklamasi, masyarakat pegunungan yang lahannya dirampas, dan komunitas nelayan yang tergeser oleh industri pariwisata besar.
*Ekosofi dan Kearifan Ekologis*
Filsuf Norwegia Arne Næss memperkenalkan konsep deep ecology dalam bukunya Ecology, Community and Lifestyle (1989), yang kemudian berkembang menjadi ekosofi—sebuah filsafat kehidupan yang menempatkan semua makhluk hidup sebagai memiliki nilai intrinsik. Dalam pandangan ekosofi, manusia bukan pusat tunggal (antroposentris), tetapi bagian dari jejaring kehidupan yang luas.
Pandangan ini sangat relevan bagi jurnalis lingkungan di Sulawesi Utara. Dalam banyak budaya lokal di kawasan ini, alam dipandang sebagai bagian integral dari kehidupan sosial dan spiritual. Hutan bukan hanya sumber kayu, tetapi ruang hidup roh dan leluhur. Laut bukan sekadar tempat mencari ikan, tetapi ruang kosmik yang menyatukan manusia dengan Sang Pencipta. Ketika jurnalis mengangkat cerita-cerita lokal dengan sudut pandang ekosofis, mereka tidak hanya melaporkan, tetapi juga menghidupkan kembali kearifan ekologis yang terpinggirkan oleh logika industri modern.
Jurnalisme dengan perspektif ekosofi dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan modern dan kearifan lokal. Ia dapat menunjukkan bahwa pelestarian alam bukan sekadar proyek teknokratik atau regulasi pemerintah, melainkan praksis hidup masyarakat sehari-hari. Dengan cara ini, narasi lingkungan tidak hanya berhenti di ruang redaksi, tetapi tumbuh dalam kesadaran publik.
*Teosofi Lingkungan: Merawat Ciptaan sebagai Spiritualitas Publik*
Sulawesi Utara dikenal sebagai daerah dengan kehidupan religius yang sangat kuat, baik dalam tradisi Kristen, Islam, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu maupun agama-agama lokal. Dalam konteks ini, merawat alam bukan hanya tindakan ekologis, tetapi juga spiritual.
Teosofi lingkungan hidup mengajak kita untuk melihat alam sebagai ciptaan yang sakral, bukan sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi sesuka hati.
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ (2015) menekankan bahwa krisis ekologis adalah krisis spiritual dan moral. Ia menyerukan “ekologi integral” yang menghubungkan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Seruan ini relevan bagi masyarakat Indonesia yang religius: menjaga alam berarti menghidupi iman dalam tindakan nyata.
Dalam Islam, konsep khalifah fil ardh (wakil Allah di bumi) juga menegaskan tanggung jawab manusia sebagai penjaga, bukan perusak.
Jurnalis lingkungan dapat menjadi agen spiritualitas publik dengan menghadirkan kisah-kisah pelestarian alam sebagai wujud keimanan dan kesalehan sosial, bukan sekadar berita pinggiran.
Di Indonesia, gagasan ini kini menemukan ruang dalam salah satu program prioritas Kementerian Agama RI, yakni Penguatan Ekoteologi. Program ini bertujuan menanamkan kesadaran ekologis dalam ajaran dan praktik keagamaan, sehingga komunitas beriman dapat menjadi pelopor pelestarian lingkungan. Ekoteologi menempatkan lingkungan hidup sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab spiritual.
Dalam konteks Sulawesi Utara yang plural, penguatan ekoteologi dapat bersinergi dengan jurnalisme lingkungan: menciptakan gerakan moral lintas agama yang menjadikan perawatan bumi sebagai dimensi iman dan pengabdian sosial.
*Dimensi Sosial-Antropologis di Sulawesi Utara*
Persoalan lingkungan selalu memiliki dimensi sosial dan antropologis yang kuat. Dalam masyarakat Sulawesi Utara, relasi manusia dengan alam terwujud dalam praktik budaya sehari-hari: ritual laut, sistem pertanian tradisional, atau kearifan menjaga hutan larangan. Namun, modernisasi cepat, ekspansi industri ekstraktif, dan tekanan ekonomi global sering memutus hubungan ekologis ini.
Antropolog Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973) menekankan pentingnya “deskripsi tebal” untuk memahami makna praktik budaya. Bagi jurnalis lingkungan, ini berarti menggali cerita dari masyarakat lokal secara mendalam, bukan hanya sebagai pelengkap berita utama. Mereka dapat menjadi penerjemah antara dunia lokal dan dunia kebijakan, antara pengetahuan tradisional dan teknologi modern.
Di era digital, pendekatan sosial-antropologis ini semakin penting. Di tengah banjir informasi, publik membutuhkan narasi yang kontekstual, menyentuh pengalaman hidup nyata, dan mengakar pada komunitas. Jurnalisme lingkungan dapat menghadirkan wajah manusia dalam isu-isu ekologis yang sering tampak abstrak. Ia dapat menunjukkan bagaimana perubahan iklim memengaruhi nelayan kecil, bagaimana penebangan hutan mengubah identitas budaya, dan bagaimana pencemaran merusak jaringan solidaritas sosial.
*SIEJ Sulut dan Tantangan Jurnalisme Lingkungan di Era Digital*
Musda I SIEJ Sulawesi Utara menjadi momentum penting untuk memperkuat kapasitas jurnalis dalam menghadapi tantangan era digital. Arus informasi yang cepat dan algoritma media sosial sering kali mendorong media untuk mengejar klik dan viralitas, bukan kualitas dan kedalaman. Dalam situasi ini, jurnalisme lingkungan harus menemukan strategi baru untuk tetap relevan dan berdampak.
Pertama, jurnalis perlu memperkuat literasi ekologis digital, yakni kemampuan mengolah data, citra satelit, dan dokumen publik untuk mengungkap kasus-kasus lingkungan dengan presisi. Investigasi berbasis data dapat membongkar pola kerusakan yang sistematis, bukan hanya insidental.
Kedua, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci. SIEJ dapat membangun jejaring dengan LSM lingkungan, komunitas adat, akademisi, dan tokoh agama untuk memperkaya perspektif dan memperkuat advokasi.
Ketiga, penting untuk membangun narasi yang menginspirasi, bukan hanya mengabarkan bencana.












