Pada kesempatan tersebut, Jull mengusulkan, ke depan Sulut baiknya memiliki Komisi Penilai Analisis Dampal Lingkungan (AMDAL).
“Komisi ini nantinya diisi orang-orang independen dan dibiayai negara. Sehingga keputusan yang diambil bisa dipertanggungjawabkan ke publik. Bukan seperti sekarang pembuat AMDAL bergelar doktor tapi pesanan semua. Memang harus ada sesuatu radikal dilakukan sehingga bisa mempengaruhi. Komisi Penilai AMDAL tidak boleh dipengaruhi oleh pengusaha. Ke depan anak-anak muda di Sulut bisa bikin film sendiri mengingat banyak kasus-kasus lingkungan,” beber Jull.
Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulut, Theo Runtuwene, menyinggung kentalnya hubungan penguasa dan pengusaha menguasai Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia dalam Film Sexy Killers.
“Di daerah kita punya contoh konkrit yakni kapal pembangkit listrik milik PLN yang ada di Amurang, Minahasa Selatan. Kapal pembangkit listrik atau Marine Vessel Power Plant (MVPP) Zeynep Sultan yang diresmikan pada 2015 sejatinya menyuplai 120 MW untuk masyarakat Sulut. Ternyata kapal dengan operator PT Karpowership Indonesia memiliki persoalan serius,” jelasnya.
Theo mempertanyakan pembuangan kapal yang menggunakan batubara itu dibuang ke mana, kemudian Cerobong asap dari kapal tersebut menurutnya membahayakan warga yang tinggal di sekitar situ.
Thoe juga menyentik pengelolaan kapal tersebut, ”kapal itu dikelolah Luhut Panjaitan,” tuturnya.
Apa yang bisa kita lakukan setelah nonton film Sexy Killers? “Apakah hanya diam? Kita harus bergerak bersama. Ingat kapal listrik itu kontraknya selama 25 tahun, artinya masih cukup lama beroperasi di Amurang,” ucap Theo.
Pemantik lainnya, Fernando Lumowa dari AJI Manado menyampaikan beberapa poin dan catatan penting dari film itu. Pertama, film ini secara langsung sebagai potret buruk persoalan di negara kita.
“Ini merupakan ironi dari kemajuan investasi. Ada pihak-pihak yang salah mempratekan bisnisnya. Contohnya, itu tadi PT MMP. Ada pertalian antara pengusaha dan pemerintah, plus aktor penting lain adalah aparat. Di Pulau Bangka, secara hukum formal PT MMP kalah tapi sampai sekarang ada orang Tiongkok masih menjalankan bekerja. Itu potret investasi kita yang sangat miris. Satu sisi kita butuh listrik tapi ada rakyat kecil yang jadi korban,” ujar jurnalis Tribun Manado ini.
Dimana-mana, kata dia, ada konflik agraria. “Tahun lalu banyak korban di lokasi tambang rakyat Bakan, Bolmong. Di lokasi itu tahun lalu sempat banjir, padahal selama ini tidak pernah. Para pemodal yang dibekingi aparat dan pemerintah membatasi masyarakat. Perlu upaya lebih keras untuk mendobrak dan melawan. Kemudian, kita jangan mudah terpengaruh balutan investasi yang memberikan keuntungan padahal ada kerugian besar. Kita harus membuka mata dan telinga,” katanya.
Terakhir, meminta masyarakat dan LSM membantu jurnalis dalam menelusuri kongkalikong pengusaha dan penguasa dalam kasus tambang. “Seperti panas bumi Lahendong misalnya, mari kita telusuri bersama untuk kebaikan masyarakat,” pungkas Nando, sapaan akrabnya.
Pada kesempatan diskusi tersebut, seorangjurnalis, Bathin Razak, menyampaikan perihal PLTU Amurang mengunakan batubara.
“Di situ ada 2 unit mesin berukuran 2×20 mw dan 2×30 mw. Asalnya dari Kalimantan, tapi saya tau siapa yang pasok. Saya pernah menelusuri asap cerobong di situ. Ada kerusakan penangkap abu. Bukan soal asapnya saja tapi hasil pembakaran, itu yang sempat rusak dulu. Perlu lagi kita cari tahu,” katanya.
(*/Mikhael)