Senada dengan itu, UNJ dan Direktur Eksekutif Center for Social Political Ekonomic & Law Studies/CESPELS Ubedillah Badrun mengungkapkan Eksekutif disandera oligarki predator, regulasi tidak pro rakyat, pemilu legislatif berbiaya mahal dan disandera pemilik modal, Pilpres berbiaya mahal dan disandera oligarki karna PT 20%.
“Indonesia sangatlah luas dan hanya dua Capres, sepertinya tidaklah pas sehingga calon perseorangan menjadi relevan. Jika menggunakan sistem bikameral maka kewenangan DPD perlu untuk diperluas seperti Senator di AS dan PPHN bertentangan dengan sistem bikameral dan presidensial,” beber Badrun.
Sementara itu, Mantan Anggota MPR/Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Wahidin mengingatkan otonomi daerah sebagai semangat DPD RI harus terus dijaga karena itu agenda reformasi.
” Kalau seperti sekarang ini maka kualitas demokrasi kita tidak akan maksimal. Tidak perlu mensakralkan konstitusi kita sehingga perubahan dapat saja dilakukan,” ungkapnya.
Senator dari Kaltim Aji Mirza Wardana menyampaikan beberapa isu dan permasalah didaerah yang perlu untuk didampingi masyarakatnya dalam bentuk-bentuk advokasi sehingga DPD RI dirasakan kehadiran dan manfaatnya.
Ketua Kelompok DPD RI di MPR RI Tamsil Linrung menyimpulkan masukan dari para pakar dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk diambil keputusan politik bagi DPD RI.
“Diskusi kali ini lebih berfokus pada isu yang berkembang saat ini terkait Amandemen kelima yang memunculkan PPHN,” ucapnya.
Dia menambahkan, banyak pandangan lain baik perlunya amandemen maupun tidak, DPD RI sudah menyuarakan juga amandemen terkait penguatan/penataan DPD RI.
“Kalau harus lewat amandemen (PPHN), maka perlu juga agenda penguatan kewenangan DPD RI, Presidential Threshold (ambang batas), dari DPD RI yang dominan menginginkan tidak adanya PT atau 0 persen,” tandasnya.(ml)