Dalam telaahnya, Bagir mencatat ada 19 pasal di KUHP yang dapat menjerat pers ke ranah pidana dari hasil publikasinya yang terkait informasi kepada masyarakat. Semua pasal itu, adalah peninggalan zaman Belanda, bersifat pasal-pasal karet (haatzai artikelen).
Dia mengatakan, walau sebetulnya tidak ada pers delik, namun pers itu rawan terseret kasus pidana sebab tidak ada batasan yang jelas. “Mulur mungkret pasal-pasal itu kan bisa ditafsirkan macam-macam. Misalnya pasal-pasal tentang, penyiaran berita bohong, peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila, kehormatan, harkat dan martabat Kepala Negara dan Wakil Kepala Negara,” ungkap mantan Ketua MA ini.
Bagir menyarankan pers menjaga kemerdekaannya sendiri. Pertama, pers harus sadar sebagai pranata publik. Kedua, pers menjunjung tinggi etika. Ketiga, perluasan wawasan wartawan agar pers dapat menjadi agen pembangunan, mata publik, pengawas dan public Avant Garde. “Keempat, pers harus memiliki hati nuraninya,” pungkasnya. (joe)