Wartawan Jangan Terlena dengan Istilah Kemerdekaan Pers

Bagir Manan (kiri) mengingatkan insan pers jangan terlalu menikmati kemerdekaan pers tapi lupa mengisi substansi kontennya.

Banjarmasin, DetikManado.com – Wartawan dan media massa jangan terlena dengan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Soalnya dalam UU itu, tidak pernah diatur secara jelas hukum pers.

Ahli hukum Bagir Manan mengingatkan insan pers jangan terlalu menikmati kemerdekaan pers tapi lupa mengisi substansi kontennya.  Dia mengatakan, seolah-olah jika wartawan dan pers akan diatur oleh hukum, maka wartawan acapkali bangga berlindung di UU Pers yang menyebutkan pengaturan pers oleh pers sendiri. “Padahal jika tanpa ada UU pers akan terjadi kebebasan menggunakan kekuasaannya. Padahal kekuasaan tanpa batas itu cenderung korup,” kata Bagir, dalam diskusi Publik KUHP Dalam Perspektif Kemerdekaan Pers, di Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di Banjarmasin, Jumat (07/02/2020).

Bacaan Lainnya

Bagir menyebut kemerdekaan pers harus mendapat perhatian, pertama perluasan cakupan tindak pidana yang dapat dikenakan pada pers. Kedua ancaman pidana yang lebih berat. “Tidak jarang kita kehilangan kemerdekaan pers karena terlalu menikmatinya dan lupa memperjuangkan dan memeliharanya,” ujar mantan Ketua Dewan Pers.

Dalam telaahnya, Bagir mencatat ada 19 pasal di KUHP yang dapat menjerat pers ke ranah pidana dari hasil publikasinya yang terkait informasi kepada masyarakat. Semua pasal itu, adalah peninggalan zaman Belanda,  bersifat pasal-pasal karet (haatzai artikelen).

Dia mengatakan, walau sebetulnya tidak ada pers delik, namun pers itu rawan terseret kasus pidana sebab tidak ada batasan yang jelas. “Mulur mungkret pasal-pasal itu kan bisa ditafsirkan macam-macam. Misalnya pasal-pasal tentang, penyiaran berita bohong, peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila, kehormatan, harkat dan martabat Kepala Negara dan Wakil Kepala Negara,” ungkap mantan Ketua MA ini.

Bagir menyarankan pers menjaga kemerdekaannya sendiri. Pertama, pers harus sadar sebagai pranata publik. Kedua, pers menjunjung tinggi etika. Ketiga, perluasan wawasan wartawan agar pers dapat menjadi agen pembangunan, mata publik, pengawas dan public Avant Garde. “Keempat, pers harus memiliki hati nuraninya,” pungkasnya. (joe)

Komentar Facebook

Pos terkait