(Suatu Tinjauan Berdasarkan Sosiologi)
Oleh: Aslam *)
Modernitas yang sarat akan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah merubah jalan hidup banyak orang dan juga cara mereka berkomunikasi. Khususnya pada penggunaan bahasa daerah dalam bekomunikasi sehari-hari semakin ditinggalkan, dicampakan karena cenderung sering dianggap kuno, terbelakang, serta “Kampungan”.
Setidaknya itulah fenomena yang nyata di kalangan masyarakat modern pada saat ini. Masyarakat yang katanya maju dan beradab itu lebih bangga melisankan bahasa indonesia yang dicampur bahasa asing dalam keseharian. Hal tersebut membuat tutur bahsasa daerah mereka tak lagi tertata dalam budaya yang sehat.
Bagi kalangan generasi muda di perkotaan maupun di pedesaan, mereka cenderung lebih menyukai penggunaan term-term “modern” yang biasa mereka sebut “gaul” kalau dipakai dalam berkomunikasi sehari-hari. Padahal, term-term tersebut tak lebih daripada pepesan kosong dan tak bernilai.
Generasi muda, generasi saya sekarang ini, penerus bangsa saat ini telah mencabut akar budaya bangsanya sendiri. Hal ini dikarenakan mereka rela bahasa daerahnya sebagai warisan budaya luhur nan agung itu, layu dan mati tergilas oleh roda modernitas.
Sekarang ini media cetak, media elektronik, media sosial, media-media yang menjadi arena berinteraksi banyak orang hanya semakin mengikis penggunaan bahasa daerah. Memang banyak manfaat positif yang dapat diambil dengan menggunakan media tersebut, akan tetapi bahsa daerah tak lebih sebagai “serpihan debu” di lapang yang dipenuhi dominasi budaya asing atas kultur lokal bangsa ini.
Sejatinya bahasa daerah merupakan bahasa yang terkait akan latar belakang etnis, suku, budaya, yang begitu kaya di Indonesia. Bahasa daerah mencerminkan identitas bangsa kita ini, cermin kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan bahasa. Betapa tidak, bangsa indonesia memiliki kurang lebih 700 lebih bahasa daerah, tetapi yang tercatat oleh kementrian pendidikan dan kebuadayaan (Kemendikbud) berdasarkan beberapa sumber yang didapatkan hanya sekitar 450 saja. Selain itu, kemana?
Sebagian sudah musnah, dan beberapa terancam punah. Bahasa-bahasa yang telah dan terancam punah itu kebanyakan berada di luar pulau jawa, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lain sebagainya. Bahkan, penulis sempat membaca dari beberapa sumber bahwa bahasa sunda yang notabenenya berada di pulau jawa pun kini akan terancam punah. Hal ini memang cukup miris, tapi inilah fakatnya.
Bukan hanya bahasa Sunda di pulau Jawa saja, akan tetapi bahasa Gorontalo yang notabenenya berada di salah satu provinsi yang ada di pulau Sulawesi, yakni provinsi Gorontalo. Penggunaan bahasa daerahnya mulai berkurang, khususnya pada generasi muda yang ada di pedesaan dan bahkan diperkotaan dalam berkomunikasi sehari-hari walapun masih ada juga generasi muda yang menggunakan bahasa daerah tersebut dalam komukasinya sehari-hari. Hal ini tidak bisa dipungkiri dan banyak penulis temukan faktanya dilapangan.
Berdasarkan sosiologis, pudarnya bahasa daerah tersebut tak lepas dari determinasi faktor internal yang berasal dari masyarakat indonesia sendiri, dan faktor eksternal yang berasal dari luar masyarakat. Berikut penulis coba jelaskan beberapa fakto-faktor-faktoe internal tersebut ialah:
MELEMAHNYA SOSIALISASI DALAM KELUARGA
Orang tua merupakan agen utama dalam menjembatani anak terhadap etnis, budaya, serta bahasa daerahnya. Namun kebanyakan orang tua saat ini tidak lagi menggunakan bahasa daerah tersebut sebagai bahasa primer ketika berkomunikasi di rumah.
Para orang tua cenderung menggunakan bahasa indonesia saat berbincang bersama anak-anak mereka. Padahal peran mereka sangat vital dalam mentransmisikan nilai-nilai budaya daerah, khususnya mensosialisasikan bahasa daerah sebagai alat komunikasi dalam sehari-sehari. Kurangnya sosialisasi orang tua mengakibatkan anak tidak lagi menjadikan bahasa daerah sebagai sense of belonging. Bahkan sebagian anak tak mengenal sekali bahasa daerahnya.
DISORIENTASI KURIKULUM PENDIDIKAN
Kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih memprioritaskan bahasa indonesia dibandingkan bahasa daerah. Bahkan bahasa-bahasa asing seperti bahasa Inggris, Jerman, dan Jepang dinilai lebih berharga dibandingkang dengan bahasa daerah.
Memang di beberapa sekolah tingkat kabupaten maupun kota masih menyertakan bahasa daerah dalam kurikulumnya, namun tak lebih dari sekedar muatan local (Mulok) saja yang diajarkan tak lebih dari dua jam mata pelajaran dalam seminggu. Ketimpangan tersebut di dorong oleh hasrat untuk dapat berkontestasi di era modern. Orientasi pendidikan yang berusaha menjungjung bahasa nasional dan internasional telah mengkebiri urgensi bahasa daerah menjadi bahasa marjinal.
KURANGNYA KESADARAN GENERASI MUDA
Generasi muda saat ini lebih suka melestarikan bahasa “gaul” dan bahasa asing ketimbang bahasa daerahnya sendiri. Budaya dan nilai-nilai yang berlaku di anak muda saat ini telah menyampingkan bahasa daerah.
Mereka seakan-akan ter-hipnotis akan kemewahan semata dari bahasa gaul yang berkembang dalam keseharian. Tak ada lagi kesadaran bahwa bahasa daerah merupakan warisan budaya luhur yang harus dilestarikan. Mereka tak lagi sadar bahwa telah “membunuh” khazanah budayanya sendiri.