Misalnya Tinorangsak, bahannya terdiri dari 1 kilo gram (Campuran daging babi, hati gaba, hati keras, lemak/tembuna dan tawadan secukupnya). Tinorangsak dibuat dengan bumbu 50 gram rica merah, 25 guraka merah, 100 gram bawang merah, 5 batang daun bawang, 2 batang sereh, 10 lembar daun jeruk, daun selasih secukupnya dan garam secukupnya. Semua bumbu dan bahan dimasukan ke dalam bulu lalu dibakar hingga menjadi matang.
“Bahan dan bumbu harus terukur dan diperhatikan proses pembakarannya agar hasil yang sempurna dapat diperoleh,” tambah Renwarin.
Asal dan Perkembangan Makanan Bulu
Renwarin mengemukakan bahwa penggunaan bulu ini banyak terdapat di daerah Asia Pasifik dan Asia Tenggara.
Dalam perkembangannya penggunaan bulu untuk mematangkan makanan awalnya dimulai pada masa kedudukan Spanyol pada abad ke-16.
Orang Minahasa biasanya menggunakan makanan bulu pula untuk ucapan syukur atas panenan.
Selain itu, penggunaan bulu untuk mematangkan makanan diadakan pula saat masa Natal, tahun baru, paskah, acara kumaus atau acara ulang tahun.
Demi pemenuhan kebutuhan protein, lemak dan karbohidrat, biasanya makanan bulu digunakan oleh keluarga batih.
“Sesekali keluarga batih menggunakan bulu untuk mematangkan makanan di rumah. Namun keluarga di daerah pedalaman-lah yang biasa menggunakannya,” ungkap Renwarin, Selasa (2/3/2021), di Pineleng, Minahasa, Sulut.
Beberapa makanan bulu yang biasanya diadakan pada acara dan abad ke-16 hingga abad ke-20, yakni Tinorangsak, Pangi, Su’ut (Sayur daun Pisang), Nasi Jaha, Posana (Sayur Paku), dan Lutu. Namun ada pula penemuan baru, yaitu Pepaya dan Lemet dengan Garam yang dimasukan dalam bulu lalu dibakar hingga matang.
“Ada penemuan baru yang juga enak yaitu Lemet yang dicampur dengan garam dan bukan gula seperti Lemet biasanya, dan juga pepaya muda yang dipotong-potong dan dicampur dengan bumbu serta dimasukan dalam bulu kemudian dibakar,” tandas Renwarin. (tr-02/rf)