“Sebab, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh,” lanjut Sasmito.
Sasmito mengatakan peraturan itu juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab menurut dia, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perijinan penyiaran, dihilangkan.
“Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain,” ungkap Sasmito.
AJI Indonesia pun menyatakan sejumlah sikapnya, di antaranya mengutuk DPR RI dan pemerintah yang telah mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
“Pembuatan undang-undang ini telah merendahkan pilar-pilar negara hukum dan mengkhianati konstitusi negara Republik Indonesia. DPR sebagai wakil masyarakat hanya menjadi alat atau stempel pemerintah yang jelas melanggar konstitusi,” sebut Sasmito.
Selanjutnya, AJI Indonesia mendesak DPR dan pemerintah untuk kembali kepada konstitusi RI dengan membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja yang inkonstitusional dan merugikan pekerja di Indonesia, tidak terkecuali pekerja media.
Kemudian, AJI Indonesia menyerukan komunitas pers untuk membongkar berbagai pelanggaran yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 3 Undang-Undang Pers menjelaskan bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi dan kontrol sosial.
“Karena itu, sudah sepatutnya fungsi kontrol sosial ini diterapkan dalam pemberitaan-pemberitaan tentang Undang-Undang Cipta Kerja,” lugas Sasmito mengakhiri.
Penulis: Yoseph Ikanubun
Editor: Richard Fangohoi