Oleh
Dian EJ Mandagi SSi MPd
Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan sejatinya adalah proses membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan ketidakadilan. Gagasan ini menjadi refleksi kritis atas wajah pendidikan kita hari ini—yang masih tersandera oleh struktur yang menekan kebebasan berpikir dan kreativitas. Salah satu indikasinya adalah ketika capaian belajar direduksi menjadi angka di rapor, seolah semua siswa yang berbeda kodratnya harus diukur dengan satu standar yang sama.
Laporan The World Bank (2023) menyebut 70% anak usia 10 tahun di negara berkembang—termasuk Indonesia—mengalami learning poverty, yaitu tidak mampu memahami bacaan sederhana. Ini menunjukkan bahwa banyak siswa belajar tanpa benar-benar paham. Di sisi lain, meskipun 97% sekolah telah mengenal Kurikulum Merdeka, hanya 38% guru merasa siap menerapkannya (Kemendikbudristek, 2022). Guru masih dibebani administrasi dan minim pelatihan pedagogis untuk menyelenggarakan pembelajaran yang reflektif dan bermakna.
Program “Merdeka Belajar” merupakan langkah progresif. Namun, seperti dikritik Zuhdi (2023), tanpa perubahan paradigma guru dan sistem asesmen, kurikulum baru hanya menjadi kulit baru dari praktik lama. Di wilayah 3T seperti Papua, Maluku, dan NTT, murid belajar tanpa listrik dan internet memadai. Sementara di kota besar, digitalisasi sering kali hanya menambah layar, bukan makna. Munir (2023) mengingatkan, “digitalisasi tanpa pedagogi hanya akan mempercepat proses tanpa arah.”
Belakangan, istilah deep learning mulai diperbincangkan. Dalam konteks pendidikan, ini bukan sekadar teknologi, tetapi pendekatan belajar yang mendalam, reflektif, dan bermakna. Biggs dan Tang (2011) menyebut deep learning terjadi saat siswa mampu menghubungkan ide, memahami konsep, dan menerapkannya dalam kehidupan nyata. Ini sejalan dengan semangat Ki Hajar Dewantara: pendidikan harus memanusiakan manusia, bukan sekadar memberi hafalan tanpa pemahaman.
Pendidikan yang digagas Ki Hajar Dewantara bersumber dari kebudayaan dan kebutuhan lokal. Di Taman Siswa, anak-anak belajar seni, gotong royong, dan nasionalisme melalui lingkungan hidup mereka. Konsep trilogi pendidikan beliau—Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani—menggambarkan peran pendidik yang menyeluruh: sebagai teladan, penyemangat, sekaligus pendukung.
Deep learning atau apapun istilahnya nanti, sistem pendidikan kita perlu berakar pada nilai-nilai yang diwariskan Ki Hajar Dewantara: kontekstual, reflektif, dan membebaskan. Untuk menuju ke sana, beberapa langkah konkrit perlu segera dilakukan:
1. Revitalisasi Pelatihan Guru
Guru perlu dibekali untuk menjadi fasilitator reflektif, bukan sekadar penyampai konten. Lesson Study dan Continuous Professional Development (CPD) harus diperluas dan dimaknai ulang (Kemendikbudristek, 2023).
2. Reformasi Sistem Asesmen
Penilaian perlu mengukur proses dan pemaknaan. Proyek akhir, portofolio, dan refleksi lebih representatif daripada ujian tunggal.
3. Integrasi Budaya Lokal dalam Kurikulum
UNESCO (2023) menekankan pentingnya pendidikan yang mencerminkan kearifan lokal agar anak merasa “pulang” saat belajar.
4. Teknologi untuk Pembelajaran Reflektif
Platform digital sebaiknya digunakan untuk diskusi, proyek kolaboratif, dan refleksi kritis—bukan sekadar mengulang soal atau menyimak ceramah daring.
Kini saatnya kita kembali ke pendidikan yang hidup dan membebaskan. Ki Hajar Dewantara tak pernah berbicara tentang ranking, akreditasi, atau sertifikasi. Ia bicara tentang manusia—dan tentang pendidikan yang menyentuh hati, akal, dan kehidupan. (***)