Liando menegaskan, yang harus kita hindari adalah polarisasi berdasarkan isu etnik, suku dan agama. Karena dalam UU Pemilu itu dilarang politisasi SARA.
“Jangan sampai polarisasi itu dibawa pada perbedaan keyakinan, agama, suku. Akibatnya yang seharusnya kualitas demokrasi diukur dari perbedaan, malah diarahkan pada permusuhan kebencian berdasarkan SARA,” ujarnya.
Terkait isu SARA itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulut KH Abdul Wahab Abdul Gafur mengatakan, siapa saja yang mencalonkan diri itu adalah hak pribadi sebagai anak seorang bangsa.
“Sebagai anak bangsa, itu adalah hak untuk bisa memilih dan dipilih,” ujarnya.
Anggota KPU Sulut Salman Sahelangi berharap, seluruh elemen masyarakat berpartisipasi dalam Pemilu, bukan kuantitatif tapi juga kualitatif.
“Bukan angka berapa besar yang datang di TPS, tapi kualitas Pemilu itu terlaksana,” ujarnya.
Terkait penyebaran hoaks isu SARA menjelang Pemilu 2024, sejumlah lembaga seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) kini gencar melakukan pelatihan prebunking.
Prebunking merupakan tindakan proaktif melakukan pencegahan/antisipasi sebelum misinformasi dan disinformasi menyebar kepada publik.
Membongkar informasi yang salah (prebunking) secara preemptif dianggap sebagai langkah yang menjanjikan untuk membangun resistensi sikap terhadap informasi yang salah. (Mikael Labaro)