Oleh : Asterlita T Raha *
“Rape is not about sex, it is about power” (Rocky Gerung).
REYNHARD Sinaga kini memecahkan kendi dalam catatan sejarah United Kindom sebagai pelaku pemerkosaan terbanyak. Hampir mencapai 200 korban, maka predikat ‘predator seksual’ sangat pantas disematkan hingga diberi visa mendekam seumur hidup di prodeo Britania Raya.
Kecaman datang dari segala penjuru dunia, tak ketinggalan para ‘homophobic’ di Indonesia menggunakan momentum ini untuk menyerang kaum LGBT, padahal banyak penelitian telah membuktikan tidak ada pertautan antara orientasi seksual dan pemerkosaan, sebab antara orientasi heteroseksual dan homoseksual mempunyai riwayat kelam tentang pemerkosaan.
Pada tahun 2011 Reymond A. Knight, Ph.D. (Brandeis University) mempresentasikan hasil penelitiannya dalam metode etiologi untuk meneliti para pelaku pemerkosaan berjudul “Preventing Rape: What the Research Tells Us” mengungkapkan bahwa pelaku pemerkosa bukan tidak bisa menggendalikan nafsu, bukan karena keinginan seksual yang tidak bisa dikontrol, melainkan karena fantasi kekuasaan untuk menaklukkan tubuh seseorang secara seksual. Artinya tak ada landasan rasional ketika mengkambing-hitamkan kaum LGBT karena kasus Reynhard.
Diskursus Seks
Tabu….. itulah alasan mengapa seks harus dirumahkan, bahkan seks dikultuskan dalam hitam dan putih. Seks kemudian hanya direduksi dalam senggama, penetrasi antara penis dan vagina lalu berakhir orgasme. Seolah-olah ketika mewacanakan seks bertentangan dengan adat ketimuran, dan selalu mengindentikan seks dengan kehidupan barat. Lalu benarkah seks bertentangan dengan budaya ketimuran?
Michel Foucault (filsuf Perancis) menyatakan bahwa dalam kebudayaan timur seksualitas tertanam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang disebutnya sebagai ‘ars erotica’. Artinya perkembangan kebudayaan timur tidak hanya menjadikan seksualitas sebagai kerangka moralitas, tetapi menjadi kajian dalam ilmu pengetahuan (science of sexsuality), yang tak lagi bisa ditentukan oleh klaim kebenaran atau kesalahan.
Ekspesinya seksual dapat ditemukan dalam tarian, lukisan, musik, drama, pahatan dan lain-lain. Dalam kebudayaan Indonesia ‘ars erotica’ muncul melalui tarian jaipong/tayub/ronggeng, seni reog, drama tradisional (ludruk, ketoprak, wayang, lenong dan sejenisnya), relief candi, jamu-jamuan dan sebagainya. Seks adalah bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Sehingga bukan sesuatu yang haram ketika membicarakan seks sebagai sebuah diskursus. Mari mendobrak tabu sebab ‘Tidak Semua Seks itu Jorok’.
Perkosaan
Apa itu pemerkosaan? Selama ini pemerkosaan hanya mengacu pada persoalan fisik yaitu vagina, anal dan penetrasi. Padahal pemerkosaan merupakan permasalahan serius yang berkaitan dengan kehendak menguasai, kejahatan, kekerasan hingga merusak jiwa dan fisik bahkan merlucuti kemanusiaan. Namun khususnya Indonesia, hukum tidak melihat kedaruratan ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkesan terus menunda mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Beruntung sidang kasus Reynhard Sinaga di Peradilan Inggris, jika di peradilan Indonesia mungkin alurnya berbeda.
Dalam Hukum Indonesia, hanya ada dua perangkat hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual. Pertama yang mengatur tentang pemerkosaan dalam KUHP pasal 285 berbunyi : “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”, dan yang kedua pasal 289 sampai pasal 296 KUHP tentang perbuatan cabul dan hukumannya tujuh tahun penjara.