Mengapa Warga Desa Tikela Terancam Kehilangan Hak Suara dalam Pilkada 2024?

Tapal batas Desa Tikela dan Desa Paal 4, Kecamatan Tikala, Kota Manado, Sulawesi Utara. (Foto : Michael Labaro/DetikManado.com)

Tanggapan pimpinan Desa Tikela

Kepala Lingkungan 2, Desa Tikela, Kecamatan Tombulu, Steven Rolando Salindeho mengungkapkan sejumlah kendala yang ditemui saat Pilpres 2024 lalu,

Kata Steven, masyarakat Desa Tikela memiliki KTP Manado namun menyadari bahwa mereka berada di wilayah Kabupaten Minahasa.

“Pihak pemerintah juga sudah mengimbau, namun masyarakat bersikeras untuk tidak mau mengurus surat pindah yang diduga karena jarak tempuh yang sangat jauh sekitar satu jam untuk ke Tondano Ibukota Kabupaten Minahasa,” ungkapnya.

Kata Steven, mungkin warga belum mau menerima kenyataan bahwa desa tersebut sudah masuk wilayah Kabupaten Minahasa karena memang dari dulu mereka dirangkul oleh Kota Manado.

“Desa Tikela telah dilakukan pencocokan dan penelitian (coklit) oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). Total ada 405 orang pemilih di Desa Tikela dengan rincian Laki-laki 199 orang, perempuan 206 orang,” terang Steven.

Dia mengatakan, saat Pemilu Pilpres 2024 lalu, sebagian warga sempat ditolak karena tidak memenuhi syarat, begitu pun di Manado mereka juga mengalami nasib yang sama.

“Sehingga hal itu menimbulkan kekacauan namun akhirnya warga tetap menggunakan hak pilihnya pada pukul 12.00 Wita sebagai daftar pemilih tambahan,” akunya.

Di sisi lain, Steven juga mengakui bahwa warga Desa Tikela ada yang memiliki KTP Kota Manado dan Kabupaten Minahasa.

“Kemungkinan hal itu dapat memicu konflik pada Pilkada nanti,” terangnya.

Selain itu, pihak Pemerintah Kabupaten Minahasa juga sudah berupaya memenuhi keluhan warga dengan memberikan fasilitas yang diinginkan warga.

“Contohnya pemberian lahan pekuburan dan kantor penghubung desa, namun warga masih tetap mengeluh,” tambah Steven.

Sekretaris Desa Tikela Adrius Pontoh berharap warga yang berdomisili di desa tersebut menggunakan hak pilihnya di wilayah itu bukan di Manado.

“Ada warga yang di Desa Tikela namun masih memiliki KTP Manado. Tetapi kami kembalikan semuanya ke warga, kami hanya memberikan pelayanan,” jelas Adrius.

Lanjutnya, jika alasan warga sangat jauh, menurutnya, masih banyak warga desa lain seperti Desa Tanawangko dan Desa Senduk yang lebih jauh dibanding mereka disini.

“Mereka harus melewati perjalanan cukup jauh namun masih bisa mengurus administrasi kependudukan di Kabupaten Minahasa,” ungkap Adrius.

Dia menegaskan, penempatan tapal batas sudah jelas, namun masih saja ada klaim yang tidak logis. Contohnya ada sebuah Masjid berada di wilayah BPN Kabupaten Minahasa namun mereka menyuruh BPN Manado yang mengukur tanah tersebut.

“Itu juga ribet, apakah batas wilayah ditentukan oleh BPN atau Pemerintah?” tambah Adrius.

Dia menyesalkan, ada warga yang sifatnya tidak mau tahu, sehingga apa pun itu mereka tidak mau pindah ke Kabupaten Minahasa.

“Yang bentuk Desa Tikela ini adalah tokoh-tokoh masyarakat dari Manado. Saya juga dulu bertugas di TPS Desa Paal 4 waktu itu Wali Kota adalah Vicky Lumentut namun saya sadar bahwa Desa Tikela sudah masuk wilayah Kabupaten Minahasa,” ucap Adrius.

Menurutnya, polemik soal status kependudukan di Desa tikela dikembalikan ke pribadi masing-masing.

“Menurut saya, Desa Tikela ini dibentuk karena persoalan tanah,” jelasnya.

Kata Adrius, tokoh-tokoh masyarakat di Manado membentuk desa ini hingga di Kelurahan Malendeng, Kecamatan Paal 2, menjadi Kelurahan dengan nama Tikala.

“Rencana itu akhirnya ditolak oleh Pemkab Minahasa,” ujarnya.

Diduga hal Ini terjadi karena kepentingan politik apalagi saat kedua pimpinan yakni Wali Kota Manado Andre Angouw dan Bupati Kabupaten Minahasa Royke Roring berasal dari 1 partai yang sama yaitu PDI Perjuangan.

“Kalau berbeda partai ceritanya bisa lain lagi. Namun kami disini bersyukur meski ada konflik, tetapi  tidak ada korban jiwa,” tutur Adrius.

Dia juga membantah tudingan warga soal pemilihan Hukum Tua (sebutan kepala pemerintahan desa di Kabupaten Minahasa) yang tidak pernah dilaksanakan di Desa Tikela,Sawangan,dan Kamangta,Kecamatan Tombulu.

“Desa Tikela pada tahun 2010 adalah desa Definitif pemekaran dari Desa Sawangan,”jelasnya.

Kemudian pada tahun 2012, ada penunjukan penjabat dari Pemkab Minahasa.

“Sedangkan pemilihan Hukum Tua dilaksanakan pada tahun 2016 dengan masa jabatan 6 tahun,”ucap Adrius.

Lanjut dia, saat ini Desa Tikela dipimpim penjabat Hukum Tua Tommy Kora’a dan akan dilakukan pemilihan pada tahun 2025 secara serentak di Kabupaten Minahasa.

“Desa Tikela dan Sawangan akan dilaksanakan bersamaan di gelombang pertama di awal tahun sedangkan Desa Kamangta di Gelombang kedua yakni pertengahan tahun,”bebernya

Kata Adrius, Desa Tikela adalah hasil pemekaran dari Desa Sawangan,yang dimana permohonan tersebut sudah diajukan sejak tahun 2001.

“Sedangkan SK Penetapan sebagai desa pemekaran dikeluarkan padan tahun 2010,”terangnya.

Adrius mengakui, memang saat itu mengalami penolakan yang luar biasa dari warga.

“Sampai saat ini masih ada warga yang belum mau bergabung ke Kabupaten Minahasa,”ungkapnya.

Bagaimana jalan keluarnya?

 Pengamat politik Ferry Daud Liando mengatakan, problem data kependudukan di Desa Tikela, Kecamatan Tombulu, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, dapat diselesaikan apabila Komis Pemilihan Umum (KPU) – sebagai penyelenggara pemilu – bersikap konsisten pada dokumen kependudukan yang sudah ada.