Waspada memang perlu dilakukan, malahan diharuskan. Namun menutup penerbangan dari negara China bisa berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Pasalnya, jumlah wisatawan mancanegara asal negara China yang datang ke Indonesia lumayan cukup banyak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kunjungan wisata mancanegara China pada tahun 2019 mencapai 2,07 juta kunjungan. Negara China menempati peringkat kedua, hanya kalah dari negara Indonesia.
Indonesia memang merupakan salah satu tempat destinasi favorit turis asal negeri Tirai Bambu. Mengutip stastista, indonesia masuk ke 10 besar untuk tujuan wisata pilihan para wisatawan asal negara China. Bahkan, Indonesia lebih populer dibandingkan dengan negara Prancis.
Dikutip dari passenger Exit Survey (PES) 2016, rata-rata pengeluaran wisata mancanegara yang masuk melalui pintu di Indonesia adalah US$ 1.201,04/kunjungan. Dengan asumsi jumlah kunjungan wisata mancanegara asal negara China tahun 2020 ini sama seperti tahun 2019, kalau penutupan rute perjalanan dari negara China berlangsung sampai satu tahun, maka negara Indonesia akan kehilangan devisa sampai US$ 2,49 miliar (Rp 34,18 Triliun dengan kurs saat ini) dari para wisata mancanegara asal negara China. Jumlah tersebut dangat signifikan (Sumber: m.detik.com).
Selain itu pada neraca pembayaran Indonesia (NPI), devisa dari wisata mancanegara masuk ke transaksi berjalan alias current account tepatnya dineraca jasa. Sepanjang 2019, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) tercatat US$ 30,41 Miliar diMana neraca jasa menyumbang defisit US$ 7,78 Miliar (Sumber : m.detik.com).
Sangat menarik, sebenarnya pariwisata punya potensi untuk mengurangi defisit transaksi berjalan dan neraja jasa. Sebab pada tahun 2019, neraca perjalanan membuka surplus US$ 5, 59 miliar.
Transaksi berjalan punya peran penting untuk menyokong nilai tukar rupiah. Sebab transaksi berjalan menggambarkan pasokan devisa yang lebih berdimensi jangka panjang (sustainable) ketimbang arus modal portofolio di sektor keuangan yang bisa keluar-masuk dengan relative mudah. Oleh karena itu, investor kerap menyoroti kinerja transaksi berjalan untuk mengukur kekuatan rupiah. Kala transaksi berjalan mengalami defisit yang dalam seperti pada 2018, rupiah pun lemah nyaris 6%.
Dengan penutupan rute penerbangan dari negara China, negara Indonesia akan kehilangan peluang untuk memperbaiki posisi transaksi berjalan. Fundamental penopang kekuatan rupiah menjadi lebih rapuh sehingga mata uang Tanah Air berisiko akan jadi lemah.
Akan tetapi, bagaimanapun nyawa adalah sesuatu yang tidak di hargai dengan angka sebesar apapun itu. Walaupun ekonomi Indonesia bisa merugi puluhan triliun rupiah, tetapi demi menyelamatkan nyawa warga negara sepertinya kebijakan apasaja akan bisa diterima dengan baik.
Harapan penulis, kasus virus corona yang melanda beberapa negara yang ada di dunia khususnya negara Indonesia bisa cepat terselesaikan sehingganya aktifitas dan kondisi ekonomi dari negara-negara yang terkena dampak dari virus corona ini kembali normal.
Yakin Usaha Sampai!
*) Penulis adalah Kabid Penelitian, Pengembanhan, Pembinaan Anggota dan Organisasi (P3AO) Kerukunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Pohuwato (KPMIP) Cabang Sulawesi Utara.