Manado, DetikManado.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut ada dana milik pemerintah daerah (pemda) senilai ratusan triliun yang mengendap di bank. Hal itu kemudian diklarifikasi oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian saat berkunjung ke Kota Manado, Sulut, pada Kamis (23/10/2025).
“Saya memang pengen ditanyai soal itu (dana mengendap di bank). Serius, supaya clear. Jangan sampai nanti ada hal yang kurang lurus,” ujar Mendagri.
Mendagri memaparkan, polemik ini muncul pertama ketika Menkeu Purbaya menyatakan bahwa ada anggaran yang menjadi simpanan dari seluruh Pemda. Nilai anggaran itu mencapai ratusan triliun.
“Kita tahu bahwa Pemda kan jumlahnya 562, terdiri dari 38 provinsi, 98 kota, 416 kabupaten. Beliau (Purbaya) mengambil data dari Bank Indonesia, nilainya 233 triliun,”ujarnya.
Data yang diungkap Menkeu itu juga menyebut ada 15 daerah terbesar yang menyimpan anggaran Pemda-nya di bank. Setelah informasi itu diterima, Mendagri lalu memerintahkan Sekjen, Dirjen Keuangan Daerah, dan Dirjen Pembangunan Daerah Kemendagri untuk mengecek apakah itu benar.
“Nah, kita (kemendagri) memiliki sistem internal yang terhubung ke seluruh provinsi, kabupaten dan kota, namanya SIPD atau Sistem Informasi Pemerintahan Daerah,” ujarnya.
Salah satu fitur dalam SIPD itu adalah mengenai masalah monitoring anggaran daerah baik pendapatan maupun belanja. Nah, di bulan Oktober 2025 pada posisi Rp215 triliun. Sedangkan data BI yang dikutip oleh Menkeu itu Rp233 triliun.
“Ada perbedaan waktu, satu di bulan Agustus. Itu adalah data 31 Agustus 233. Data di kita (Kemendagri) data Oktober. Nah antara Agustus sampai Oktober itu ada 6 minggu, uang kita itu tidak statis,” tutur Tito Karnavian.
Dia mengatakan, ada yang harus dibayar, ada pendapatan pajak dan retribusi, kemudian dari transfer pusat, ada yang dibelanjakan. Pendanaan dinamis, jadi sangat wajar kalau misalnya di bulan Agustus Rp233 triliun, dan di Oktober Rp215 triliun.
“Pertanyaannya kemana Rp15 triliun itu, ya dibelanjakan. Wah besar sekali! Nggak, kalau dibagi 562 kabupaten kota dan provinsi. Sangat wajar sekali, itu jawaban saya,” tuturnya.
Mendagri mengatakan, artinya ada beda waktu data yang disampaikan ke publik itu adalah data pada akhir Agustus. Data yang di Kemendagri per Oktober. BI mencatat data-data simpanan termasuk pemda itu setiap bulan sekali, di-compair dari para perbankan.
“Nah kalau metodologi kami (Kemendagri) tidak, minimal seminggu sekali. Bahkan bisa real time, berapa pendapatan belanja tiap-tiap daerah,” ujarnya.
Menurutnya, data yang masuk nanti diinput oleh Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD). Jika kemudian Kemendagri melihat ada anomaly, langsung dilakukan cross check dengan menurunkan tim.
Mendagri melanjutkan, hal berikutnya yang disampaikan Menkeu adalah ada satu slide yang ditampilkan sumbernya dari source BI. Di antaranya yang tertinggi dana mengendap di bank, nomor satu adalah DKI Jakarta sebesar Rp14 triliun. Kemudian Jatim Rp6 triliun.
“Yang ketiga bagi saya ini kayaknya kurang pas, tidak akurat. Yang ketiga Kota Banjarbaru sebesar Rp5,1 triliun,” ujarnya.
Mendagri mengatakan, melalui stafnya, sudah ditanyakan ke Bank Sentral karena APBD Kota Banjarbaru itu Rp1,6 triliun. Kemendagri juga sudah mengecek langsung ke Wali Kota banjarbaru dan Kepala BKAD.
“Itu sisa anggaran Rp862 miliar. Hampir tidak masuk logika kami yang sudah biasa tangani seperti ini. Apa mungkin simpanan melebihi APBD. Kecuali itu daerah penghasil yang luar biasa. Ini APBD Rp1,6 triliun, simpanan Rp5,1 triliun,” papar Tito Karnavian.
Tito Karnavian mengatakan, sepanjang pengetahuannya tidak pernah ada gap yang sedemikian tinggi. Dia menduga ada human error pada waktu mencatatkan terutama sistem perbankan.
Mendagri kemudian menyorot data yang disampaikan Menkeu terkait dana pemda mengencap di bank sebesar Rp2,6 triliun milik Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut. Menurutnya, hal itu aneh.
“Yang agak aneh bagi saya itu Kepulauan Talaud. Tercatat di situ (data Kemenkeu) Rp2,6 triliun. Itu APBD Kabupaten Kepulauan Talaud Rp820 miliar. Masa simpan Rp2,1 tirliun, dari mana uangnya,” ujar Tito.
Padahal menurutnya, Talaud tidak memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kuat. PAD Kabupaten Kepulauan Talaud sebesar Rp20 miliar.
“Dari mana uang yang lain, apa mungkin ada penangkapan kapal besar-besaran, atau penangkapan ikan,” tuturnya sambil menoleh ke Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud Welly Titah.
Dia mengatakan, Kemendagri juga sudah mengecek ke Bupati Kepualauan Talaud, dan Badan Keuangan. Hasilnya persediaan anggaran hanya Rp62 miliar.
“Jadi dicatatkan di BI Rp2,6 triliun. Saya duga petugas yang salah mencatat data seluruh Indonesia. 62 miliar dibalik 2,6 miliar jadi triliun,” ujarnya.
Tito mengatakan, yang kasihan adalah Bupati Talaud karena warga menganggap bupati menyimpan uang triliunan di bank.
Hal yang hampir sama juga terjadi di Jawa Barat. Data per Oktober 2025 sebesar Rp2,6 triliun. Sebelumnya di Agustus 2025 pernah mencapai Rp3,8 triliun, dutambah Rp300 miliar berasal dari uangnya Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)yang disimpan di Bank Jabar.
“BLUD itu seperti rumah sakit, itu karena ada perputaran uang di sana. Itu kan disimpan di bank juga, kemudian diakumulasikan Rp3,8 triliun ditambah Rp300 miliar sama dengan Rp4,1 triliun di bulan Agustus,” ungkapnya.
Uang itu sudah dibayarkan untuk belanja pegawai, operasional, kegiatan membangun jalan, sehingga sisanya Rp2,6 triliun, persis sama dengan data yang ada di Kemendagri.
“Case yang di Jabar clear, data yang ditampilkan (Kemenkeu) data yang di bulan Agustus, 31 Agustus. Sementara data yang dipegang Pak Deddy (Gubernur Jabar Deddy Mulyadi) dan data kemendagri Rp2,6 triliun itu di bulan Oktober. Artinya sudah dibelanjakan,” ujarnya.
Mendagri mengatakan, tidak menyalahkan Menkeu, juga tidak menyalahkan BI. Namun publik harus paham bahwa data itu berbeda, karena waktunya yang berbeda, karena uangnya sudah terpakai.
“Memang betul ada daerah-daerah yang tinggi pendapannya, tapi belanjanya rendah. Itu jadi sasaran kita. Supaya pendapatan yang tinggi ini diikuti dengan belanja yang tinggi juga, supaya uang beredar ke masyarakat, jangan disimpan,” tuturnya.
Menurutnya, nanti akan ada membayar proyek akhir tahun yang dibayar sesuai aturan. Di mana proyek selesai baru dibayar, karena kalau dibayar tapi proyek belum selesai, bisa masuk penjara.
“Nah ini perlu ada uang yang dicadangkan untuk membayar di akhir tahun, atau di awal tahun depan. Sehingga daerah perlu cadangan itu,” ujarnya.
Dia mengatakan, yang tidak boleh terjadi adalah gap terlalu tinggi tapi tidak digunakan untuk apa-apa. Apalagi dijadikan deposito, karena itu yang membuat uang yang berputar di masyarakat menjadi berkurang.
“Likuiditasnya kering, uang yang dibelanjakan pemerintah kurang, swasta juga kurang, membuat pertumbuhan ekonomi melamban,” tuturnya.
Sebelumnya Menkeu Purbaya mengungkap ada dana Rp233 triliun milik pemda yang mengendap di bank. Bahkan dia membeber ada 15 daerah tertinggi yang menyimpan uang di bank. Pernyataan ini kemudian menyulut polemik, sampai Mendagri memberikan klarifikasinya. (yos)
Daftar 15 Pemerintah Daerah dengan Simpanan Tertinggi di Perbankan:
Provinsi DKI Jakarta: Rp 14,68 triliun
Provinsi Jawa Timur: Rp 6,84 triliun
Kota Banjarbaru: Rp 5,17 triliun
Provinsi Kalimantan Utara: Rp 4,7 triliun
Provinsi Jawa Barat: Rp 4,17 triliun
Kabupaten Bojonegoro: Rp 3,6 triliun
Kabupaten Kutai Barat: Rp 3,2 triliun
Provinsi Sumatera Utara: Rp 3,1 triliun
Kabupaten Kepulauan Talaud: Rp 2,62 triliun
Kabupaten Mimika: Rp 2,49 triliun
Kabupaten Badung: Rp 2,27 triliun
Kabupaten Tanah Bumbu: Rp 2,11 triliun
Provinsi Bangka Belitung: Rp 2,1 triliun
Provinsi Jawa Tengah: Rp 1,99 triliun
Kabupaten Balangan: Rp 1,86 triliun






