Oleh: Asterlita T. Raha *)
MARI merayakan Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2020 dengan mempertanyakan hal-hal emansipatoris. Pada titik ini kita harus mulai bertanya dari mana kita bermula, di mana kita sekarang dan kemana kita menuju. Kitapun berkejaran dengan waktu sebab ada begitu banyak perubahan yang berdetak setiap detik.
Berbicara persoalan anak, maka tak bisa dilepas pisahkan dari orang dewasa. Barangkali beberapa yang dianggap beruntung tumbuh dalam institusi keluarga yang lengkap, namun ada beberapa yang kurang beruntung tumbuh dari standar ketidaksempurnaan di masyarakat. Dari tingkatan ekonomi, sosial dan budaya, ada disparitas yang begitu pekat. agama, pembedaan gender hingga watak feudal orang dewasa yang ingin menguasai diri anak-anak.
Sejarah polis di Yunani Kuno pun menempatkan anak-anak sebagai warga oikos, dan menjadi warga negara kelas dua. Hingga kini zaman post-moderenisme tradisi usang masih begitu awet terpelihara. Anak-anak tidak memiliki hak politik (zoon politicon), apalagi diberikan hak konstitusi untuk memilih dan dipilih.
Menurut laporan LSM Hak-hak anak (The Children International) setidaknya 100 ribu bayi meninggal setiap tahunnya karena konflik gencatan senjata/perang dan dampaknya (VOA, 15/02/19). Dan kematian akibat kekerasan lainnya. Menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI), di Indonesia pada periode 2011 hingga 2019 jumlah kasus anak yang berhadapan dengan hukum mencapai 11.492 kasus, disusul dengan laporan kasus anak yang terjerat masalah Kesehatan dan narkotika (2.820 kasus), ponografi dan cyber crime (3.323 kasus), serta human trafficking dan eksploitasi (2.156 kasus). Tapi lagi-lagi kekerasan terhadap anak adalah fenomena gunung es, dan mungkin masih banyak yang luput dari laporan KPAI.
Belum lagi ancaman kehilangan ruang hidup dan perampasan tanah-tanah rakyat. Di Jawa semakin masif dan ekspansifnya tambang mulai dari pertambangan migas, mineral logam maupun non logam, hingga infrastruktur penunjang ekspansi industry. Di Kalimantan yang katanya paru-paru bumi, namun nyatanya kelapa sawit bercokol dan sudah pasti memiliki dampak deterministic bagi kehidupanan generasi kedepan. Bahkan Sulawesi utara hingga Halmahera dan Papua, kehidupan terancam oleh limbah dan kerusakan alam. Lalu masihkan kita nafikan ancaman terhadap ruang hidup anak-anak di kemudian hari?
Secara politik anak-anak disingkirkan dari ruang-ruang pengambilan keputusan karena dituduh tak memiliki rasio yang cukup, anak tergusur dari segala kebijakan dan tercabut dari hak konstitusi karena dianggap tak arif. Lalu dengan alasan rasionalnya orang dewasa maka ketubuhan anak-anak dikuasai bahkan didaulat sesuai hasrat orang dewasa.
Lalu Pernahkan kita bertanya apa hasrat anak-anak?, bukankah selama ini orang dewasa terlalu memonopoli dan menjadikan anak sebagai objek hasrat (object of desire)? Orang dewasa berusaha menginternalisasikan nilai dan norma serta hasratnya terhadap anak, hingga menggangap anak-anak tak lebih dari properti dan warisannya untuk memperpanjang kekuasaan.
Paradigma keliru orang dewasa tentang anak adalah sebuah properti. Di keluarga orang tua menganggap anak adalah hak milik. Di sekolah, guru menganggap anak di bawah kekuasaan mereka. Anak-anak tumbuh dalam kekerasan, lalu pernahkah kita membayangkan jika bangsa ini di wariskan kepada para pemimpin yang mengalami kekerasan di masa kanak-kanak?