Membincang Ulang Ajaran Agama Tentang Kemanusiaan Bersama Gusdurian Sulut

Refleksi Hari Toleransi dengan tema Membincang Ulang Ajaran Agama tentang Kemanusiaan di Markas Gusdurian Sulut, Sabtu (16/11/2019).

Manado, DetikManado.com – Dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional, Gusdurian Sulut menggelar Refleksi Hari Toleransi dengan tema Membincang Ulang Ajaran Agama tentang Kemanusiaan.

Kegiatan yang dihadiri puluhan peserta dari berbagai elemen masyarakat ini digelar di Markas Gusdurian Sulut, Kompleks Masjid Al Gufran, Malendeng, Manado, Sabtu (16/11/2019) malam.

Bacaan Lainnya

Taufik Bilfaqih memandu jalannya diskusi dengan lebih dahulu menyampaikan tentang apa itu Gusdurian, serta apa saja yang dikerjakan pada pengikut Gus Dur atau KH Abdurahman Wahid. “Gusdurian adalah sebutan untuk para murid, pengagum, dan penerus pemikiran serta perjuangan Gus Dur,” ungkap Bilfaqih.

Dia mengungkapkan, para Gusdurian mendalami pemikiran Gus Dur, meneladani karakter dan prinsip nilainya, serta berupaya untuk meneruskan perjuangan yang telah dirintis dan dikembangkan oleh Gus Dur sesuai dengan konteks perkembangan zaman. “Banyak Gusdurian adalah para santri NU, tapi Gusdurian sebenarnya terbuka bagi semua kalangan yang memang sepemikiran dengan Gus Dur,” tandasnya.

Penggerak Gusdurian Manado Rusli Umar menyerahkan sertifikat kepada Sulaiman Mappiasse PhD.

Dalam kesempatan itu Bilfaqih juga mengungkapkan kembali 9 nilai perjuangan Gus Dur yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, dan kearifan tradisi.

Usai memberikan pengantarnya, Bilfaqih kemudian memberikan kesempatan pada pemantik diskusi yang pertama yaitu akademisi Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) Dr Denni HR Pinontoan MTeol.

Pinontoan memulai dengan kutipan dalam Alkitab Perjanjian Lama yakni bahwa manusia diciptakan serupa dan setara dengan Allah. Manusia adalah sakral, merepresentasekan sikap-sikap Allah. “Semua yang diciptakan adalah baik adanya, perspektif Kristen tidak hanya manusia tapi juga kesatuan dengan semesta,” papar Pinontoan.  

Bagaimana orang Kristen memandang sesama manusia, meski berbeda golongan suku dan agama, Pinontoan kemudian mencontohkan apa yang disampaikan Yesus dalam kisah Orang Samaria yang baik hati. Dikisahkan ada orang yang dirampok dan dianiaya terkapar di jalan, sementara semua orang lewat termasuk para pimpinan agama hanya membiarkan saja. “Tapi ada orang Samaria yang baik hati, yang menolong korban. Siapa orang Samaria, mereka kelompok yang dianggap musuh oleh orang Yahudi, tapi mereka yang tergerak hati untuk memberikan pertolongan,” papar Pinontoan.

Dia menambahkan, agama harus didekatkan pada persoalan-persoalan kemanusiaan.

Pemantik kedua dalam diskusi ini adalah adalah akademisi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado Sulaimain Mappiasse PhD. Mengutip sejumlah ayat Alquran dan hadis Nabi Muhammad Saw, Mappiasse mengatakan, berakhlaklah seperti akhlak Tuhan. “Toleransi sering dibicarakan, toleransi tidak bisa berdiri sendiri. Dia perlu ruang yang diciptakan. Ruang itu adalah persaudaraan sebagai sebuah pondasi,” paparnya.

Suasana refleksi Hari Toleransi Internasional di Markas Gusdurian Sulut.

Dia menambahkan, problem sekarang adalah hidup dalam keragaman, dengan berbagai bahasa identitas yang membuat ruang keragaman itu menjadi sempit. “Orang yang membenahi pernak-pernih identitas, dia sulit keluar untuk toleran dengan sesama. Identitas perlu dirawat, tapi tidak jadi kerangkeng,” paparnya.

Pendiri Yayasan Alhikam Cinta Indonesia Habib Muhsin Bilfaqih SAg MEd yang tampil sebagai pemantik berikutnya memulai dengan kisahnya bersama Gus Dur yang memberikan nasehat-nasehat. “Malam ini kita merasakan kehadiran Gus Dur, nilai dan semangat perjuangannya yang harus terus kita jalankan,” ujarnya.

Berbicara tentang toleransi, menurut Habib Muhsin, ada batasannya. “Toleransi dalam hal kebaikan. Jangan toleransi dalam persoalan yang merusak,” tandasnya.

Ketika bergaul, lanjutnya, bertoleransi dengan seluruh makhluk di muka bumi dengan akhlak yang terbaik. “Orang seperti yang tidak akan mematikan makna toleransi,” ujarnya.

Usai ketiga pemantik memberikan beberapa pandangan awal, dilanjutkan dengan tanggapan dari sejumlah peserta seperti Pdt Ruth Ketsia Wangkai MTh, Koordinator Gerakan Cinta Damai Sulut (GCDS) Yoseph E Ikanubun, Komunitas Bahai Sulut, Koordinator Gusdurian Bolmong Ersyad Paputungan serta sejumlah dosen dan mahasiswa IAIN Manado.

Turut hadir dalam diskusi ini Pengerak Gusdurian Manado Mardiansyah Usman, Rahman Mantu, Memet Bilfaqih dan Rusli Umar yang Ketua GP Ansor Manado, serta tamu undangan lainnya. (tr-01/joe)


Pos terkait