Oleh: Rusmin Hasan*
MENDENGAR istilah kaum intelektual, kita kagum dan takjub serta terkesima karena sosok intelektual memiliki kebesaran, ketinggian dan kedalaman ilmu pengetahuan. Karenanya, seorang intelektual adalah pribadi yang dihargai dan di tempatkan pada posisi tertinggi dalam relasi atau stratifikasi sosial. Kaum intelektual umumnya hidup dan berhabitat di kampus-kampus. Disinilah orang-orang intelektual berkecimpung, bergelut dan bergumul dengan kehidupan. Mereka bagai cahaya yang bersinar mempunyai fakta, realitas serta praksis kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hukum dan budaya di luar kampus. Suara-suara kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan ketuhanan memencarkan keras kampus.
Mereka kaum intelektual menjadi benteng kekuatan moral, etik dan transendental kehidupan. Mereka menjadi juri dan hakim yang absolut terhadap praktek penindasan, ketidakadilan, ketimpangan, kesewenang-wenangan, kediktatoran, kezaliman, pemarjinal, pemiskinan dan pembodohan umat manusia. Mereka bagai Nabi dan Rasulnya kehidupan modern dan kemajuan ilmu pengetahuan. Karena itulah posisi mereka dalam kehidupan dan serta bangsa dan negara sangat penting.
Maju dan mundurnya bangsa ini sebagai tekad untuk hidup bersama bergantung pada fungsi dan berperangnya kaum intelektual. Kalau peran kaum intelektual. Peran kaum intelektual telah mengalami kemunduran, kegagapan, austisme, stagnasi bahkan pendengkalan serta kemunduran yakin dan percaya bangsa tersebut seperti Indonesia akan terpuruknya dan stagnan sebagaimana adanya.
Salah satu indikasi mundurnya peran kaum intelektual kampus yang paling mendasar & fundamental adalah minimnya perlawanannya untuk meneriakkan suara-suara keadilan, kebenaran dan kemanusiaan dalam hidup bermasyarakat atau berbangsa. Malah, kaum intelektual cenderung bersikap diam, menunduk dan masa bodoh dengan kondisi bangsa yang har ini makin carut marut, kasak kusuk, bobrok, terpuruk dan tertinggal dari negara-negara lain. Apa yang kita saksikan adalah kaum intelektual menjadi pendukung dan simpatisan rezim yang mengabdi serta menyerahkan dirinya pada kekuasaan. Kaum intelektual menjadi terkoptasi dan akhirnya bermutualis dengan kekuasaan rezim pasca reformasi.