Meminjam teori psikoanalisis untuk belajar mengapa anak-anak perlu menjadi subjek dan bukan objek hasrat (object of desire) orang dewasa. Setidaknya filsuf seperti Spinoza, Leibniz, Schopenhaeur, dan Nietzsche telah membahas terkait hasrat sejak lama, bagi Spinoza hal itu adalah intuisi, bagi Schopenhaeur adalah kehendak, dan bagi Nietzsche adalah ‘nafsu’ atau kehendak berkuasa. Namun berbeda dengan Sigmund Freud (1856-1939) mengemukakan teorinya mengenai ketaksadaran. Bagi Freud hasrat tersimpan dalam wilayah ketaksadaran akibat adanya represi oleh sebab “prinsip kenikmatan” oleh “prinsip realitas”.
Jika anak dianggap sebagai objek hasrat (hasrat of desire) maka anak-anak akan tumbuh sebagai hasrat akan pengakuan (desire of recognition) yang menjadi pengertian hasrat menurut Hegel dalam menjelaskan dialektika tuan-budak. Anak-anak dipaksa berjuang untu mendapatkan kepastian dari orang-orang dewasa agar terpenuhi kebutuhan sang anak seperti makan, minum, keamanan dan lainya.
Kamudian Lacan merumuskan teori tentang hasrat (desire) dalam The Four Fundamental Concepts Of Psychoanalysis (1977), dimana argumennya, hasrat sebenarnya adalah interpretasi itu sendiri. Jadi tidak mengherankan jika anak akan tumbuh menjadi objek interpretasi orang dewasa, jika orang dewasa menginterpretasikan kekerasan maka sudah tentu anak akan tumbuh dengan hasrat (desire) akan kekerasan.
Apalagi properti untuk mendatangkan profit, atau merubah nasib keluarga, pembawa nama baik, dan lainnya. Tak terbanyakan tumbuh dan hidup dalam beban-beban seperti itu. Tentu kita tak punya banyak waktu sekedar memikirkan masa depan alam/bumi, tapi terus berkutat memenuhi hasrat orang dewasa. Mencari uang, kedudukan dan kekuasaan. Anak-anak tak lebih dari buruh bahkan zombie.
Namun angin segar datang dari Barat, ada sekelompok anak-anak yang melawan orang dewasa akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Salah diantara mereka bernama Greta Thunberg, memimpin aksi mogok global untuk perubahan iklim pada 15 Maret 2019, diikuti oleh 71 negara dan berlokasi di 700 tempat yang berbeda. Jiwa sensivitas yang tinggi terhadap krisis lingkungan menjadi landasan untuk keluar dari segala bentuk pendisiplinan konstruksi sosial terhadap dirinya.
Sikap dan perlawan Greta menjadi Tindakan emansipatoris, bagaiman ia keluar dari objek hasrat (object of desire) orang dewasa, Environmental Ethics atau Etika Lingkungan sebagai hasratnya kelompok anak-anak) atau meminjam istilah Lacan ‘interpretasi’nya sebagai suara dan wacana dunia.
Akhirnya, bagaimana diskursus anak-anak di Halmahera, Papua, Manado, Jakarta dan lainnya di Indonesia? Apakah kita masih menjadi objek hasrat orang dewasa atau orang dewasa tidak pernah menyadari lingkaran setan ini. (*)
*) Ketua Bidang Aksi, Kajian dan Pelayanan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Tondano.