Tak heran kalau narasi tesis Julian Benda, seorang intelektual Prancis, tentang pengkhiatan kaum intelektual pada delapan dekade lampau (1930-an) masih relevan hari ini. Menurut Benda, tugas kaum intelektual bukanlah mengabdi pada kekuasaan dan kepentingan-kepentingan politik, tetapi justru untuk memperjuangan nilai-nilai abadi yang berlaku setiap zaman dan keadaan. Nilai-nilai yang dimaksud Benda adalah kebenaran, berkeadilan dan rasionalitas. Pertanyaan kemudian apa yang sedang terjadi dengan kelompok intelektual kampus hingga cenderung autis menyaksikan nilai-nilai dasar tersebut dinjak-injak oleh kekuasaan atau elit politik dan mau malah berafiliasi dengannya?
Ada dua hal yang menjadi penyebab mengapa demikian. Pertama soal kesadaran. Kaum intelektual terjebak dalam kesadaran rasio intrumental, sebuah kesadaran rasio yang akan mendahulukan kepentingan-kepentingan praktis, bukan pembebasan. Makanya aktivitas substansial mereka hanya berkisar pada penelitian, pemanfaatan, rekayasa dan eksploitasi untuk kepentingan ilmu dan pribadi belaka. Oleh konsep kesadaran Paul Freire, kaum intelektual kehilangan kesadaran kritis. Oleh Antony Giddens, kaum intelektual terjebak pada kesadaran praktis, oleh Gramsci dan Max Horkhoimer kaum intelektual hanya menjadi trandisional yang tak punya perjuangan untuk kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan kehidupan di eksternal. Itulah mengapa kampus cenderung jadi menara gading yang tak punya kaitan dengan sosial dan historis atas kehidupan.
Kedua, mundurnya resistensi intelektual terhadap gejala pembusukan oleh elit politik dan penguasa dan demoralisasi bangsa, karena tidak adanya keberanian atau mental menyuarakan kebenaran dihadapan penguasa.
Tanggung jawab itu tentunya tidak mungkin diharapkan dari masyarakat awam. Mereka tidak punya kapasitas atau kemampuan akan hal itu, tetapi tetap akan mendukung pembenaran dan perjuangan kaum intelektual. Makanya, sikap kejantanan intelektual itulah yang langka dimiliki oleh mereka yang berhabitat di kampus. Sosok Galileo, Socrates, Ali Syariati, Tan Malaka, Syahrir, Pramoedya, Mochtar Lubis, dan lain- lainnya adalah contoh orang-orang yang mau dan mati atau menderita demi memperjuangan kebenaran dan idealismenya. (***)
*Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Unima