Oleh: Luh Putu Dina Satriani (Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja-Bali)
Tulisan ini akan menguraikan secara sangat sederhana tentang konsep gender dalam tradisi Bali yang dipraktekkan sehari-hari dan gender yang dikenal dalam tradisi Hindu. Penulis mencoba menguraikan hal tersebut mengingat kita perlu memahami dengan benar bagaimana kedua tradisi ini sebenarnya.
Secara historis, gender dalam tradisi Bali berkaitan dengan interaksi sosial masyarakat yang membedakan perilaku antara laki-laki dan perempuan secara proporsional menyangkut moral etika dan budaya.
Kekeliruan dalam merefleksikan konsep purusa dan pradana dalam wujud laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial di masyarakat telah menimbulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan di Bali yang memandang laki-laki memiliki kedudukan yang lebih istimewa dari pada perempuan. Hal ini tercermin dari pemberlakuan hukum adat yang masih belum memiliki kesetaraan gender walaupun dari hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa kaum perempuan Bali tidak merasa mengalami ketidakadilan gender karena memaknai setiap perannya sebagai suatu kewajiban, walaupun sebenarnya perempuan Bali merasakan beban kerja akibat ketimpangan peran yang diterimanya.
Hal tersebut di atas, tampak jelas kontradiksinya dengan pandangan Hindu yang memuliakan kaum perempuan sebagai kekuatan sakti, yang memiliki peran yang penting dalam penciptaan alam semesta. Sebagaimana kita ketahui, gender sudah menjadi pembicaraan yang hangat baik di dunia pendidikan, politik, ekonomi, bahkan menjadi wacana dalam pembahasan serius di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga diketahui bahwa wacana gender muncul sebagai dekonstruksi terhadap budaya patriarki yang telah menghegemoni paradigma masyarakat sekurang-kurangnya tiga ribu tahun lamanya.