Oleh: Ni Putu Candra Prastya Dewi, M.Pd. (Dosen PGSD STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Bali-Komunitas Penulis Art & Culture ManadoBali)
Fenomena gegar budaya (culture shock) umumnya kita jumpai pada seseorang yang tinggal di luar daerahnya seperti di luar negeri/negara asing.Akan tetapi, fenomena ini juga dapat kita jumpai di lingkungan sekitar kita terutama pada masa pandemi covid-19 ini.Adanya pandemi covid-19 menjadikan segala kehidupan dunia berubah drastis. Segala pekerjaan dilakukan dari rumah. Bahkan di beberapa daerah menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Hal ini tentunya menimbulkan dampak yang sangat signifikan, terutama pada kebiasaan masyarakat.
Pekerjaan yang biasanya dilakukan di luar rumah/ ditempat kerja masing-masing, kini harus mengikuti aturan WFH (Work From Home). Pendidikan yang seharusnya dilaksanakan di sekolah, kini menjadi pembelajaran daring (dalam jaringan) atau disebut juga home learning. Hal lain yang dapat kita jumpai yaitu pemberlakuan penggunaan masker setiap keluar rumah, serta wajib mencuci tangan setelah bepergian. Begitupula pekerjaan seperti pedagang di pasar mulai dibatasi karena mengikuti aturan untuk menghindari kerumunan.
Perubahan kebiasaan ini tak jarang membuat beberapa masyarakat mengeluh dan merasa frustrasi dengan keadaan. Misalnya beberapa orang tua mengeluh karena merasa kewalahan dalam mendampingi anak belajar online. Begitupula dengan anak yang kurang fokus dan tidak terbiasa belajar di rumah karena tidak dapat berinteraksi dengan temannya. Para pekerja harian yang kehilangan pekerjaan karena aturan menghindari kerumunan, dan masih banyak lagi keluhan yang dirasakan oleh masyarakat. Rasa frustrasi itu timbul dari ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan kebiasaan yang baru. Hal inilah yang dinamakan fenomena gegar budaya (culture shock). Gegar budaya (culture shock) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perasaan terkejut, gelisah, keliru yang dirasakan apabila seseorang bersentuhan dengan kebudayaan yang berlainan sama sekali, seperti ketika berada di negara asing. Begitupula yang dirasakan sebagian masyarakat di masa pandemi covid-19. Tinggal di negara sendiri bagaikan berada di negara asing, karena pola kehidupan yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Perasaan ini timbul akibat adanya perbedaan dan kesukaran dalam beradaptasi dengan budaya baru. Gegar budaya dapat mencakup aspek yang ada di kehidupan sehari-hari seperti makanan, cara berpakaian, harga barang, kebiasaan, dan lain sebagainya. Semakin berbeda budayanya, semakin besar efek yang ditimbulkan.
Apabila kondisi ini masih terus dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, maka dapat menimbulkan dampak yang kurang baik untuk kelangsungan hidup kedepannya. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat untuk mengatasi fenomena gegar budaya (culture shock) di masa pandemi covid-19.
Pertama, berpikir positif. Artinya wabah ini tidak dianggap sebagai suatu bencana, akan tetapi lebih pada pembelajaran pada diri kita untuk selalu menjaga kebersihan, lebih peduli dengan kesehatan, serta mempunyai lebih banyak waktu untuk membangun kedekatan dengan keluarga. Selain itu, sisi positif yang dapat kita lihat yaitu adanya kerjasama seluruh warga negara di berbagai belahan dunia, memicu soliaritas antar sesama, kualitas udara membaik karena berkurangnya tingkat penggunaan kendaraan akibat isolasi mandiri yang harus dilakukan, dan masih banyak hal positif yang dapat kita lihat dari adanya wabah virus covid-19. Dengan kita berpikir positif, maka kecemasan akibat perubahan kebiasaan perlahan akan mulai berkurang dan kita dapat menjalani kehidupan yang lebih baik.
Kedua, melakukan kegiatan positif di rumah. Untuk menghindari rasa bosan di rumah, kita dapat melakukan beberapa kegiatan positif yang juga dijadikan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri. Misalnya bagi yang memiliki hobi memasak bisa mencoba resep masakan baru untuk para anggota keluarga. Bagi yang memiliki hobi travelling, bisa melakukan virtual travelling. Bagi yang suka seni bisa mencoba membuat kerajinan tangan. Bagi pecinta musik bisa berlatih bermain musik ataupun menciptakan beberapa lagu. Bagi penulis bisa menuangkan ide/gagasannya untuk menghasilkan sebuah tulisan yang bermanfaat. Bagi pedagang yang terbiasa jualan secara langsung, bisa beralih ke sistem penjualan online. Serta masih banyak lagi kegiatan positif yang dapat di lakukan untuk menghindari kebosanan dan menghilangkan perasaan cemas selama masa pandemi covid-19.
Ketiga, menerapkan pembelajaran yang menarik. Hal ini dapat dilakukan oleh guru ataupun orang tua siswa. Untuk menghindari kebosanan anak dalam melaksanakan pembelajaran online, anak dapat diberikan kuis online melalui aplikasi tertentu yang berisikan beberapa soal mengenai materi. Hal ini dapat memacu semangat belajar anak serta menghindari kebosanan. Kemudian memberikan ruang untuk anak belajar secara langsung seperti membuat suatu karya berupa poster bertemakan covid-19. Serta masih banyak lagi hal yang dapat dilakukan guru atau pun orang tua untuk meningkatkan ketertarikan belajar anak.
Berdasarkan solusi tersebut, inti yang harus kita lakukan untuk menghindari kondisi gegar budaya (culture shock) selama masa apandemi covid-19 adalah dengan berpikir dan berperilaku positif. Hal itu dapat dimulai dari diri kita sendiri. Dengan berpikir dan perperilaku positif, kita dapat menyebarkan vibrasi positif kepada lingkungan sekitar kita, sehingga memberikan kontribusi terhadap penekanan laju penyebaran covid-19. (***)